Rabu, 31 Desember 2008

Jakarta di Ujung Tahun

Ibukota Jakarta masih akan seperti hutan rimba, siapa yang kuat dia yang menang.

Ini hari terakhir di tahun 2008.

Jakarta, secara keseluruhan, tampak lengang.

Toh, di beberapa ruas jalan tetap saja ada sedikit kemacetan. Berbeda dengan pagi yang lain, tumben-tumbenan di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, pada Rabu tadi lalu lintas padat merayap. Beberapa sedan dan Kopaja terpaksa putar haluan, mencari jalan tikus. Usut punya usut, ternyata, penyebabnya adalah akan ada keputusan pengadilan tentang siapa dalang kematian aktivis kemanusiaan Munir. Aparat bersiaga penuh dekat sebuah pengadilan yang terletak tak jauh dari pertigaan lampu merah dan tetanggaan persis dengan sebuah salon totok wajah buat memancarkan aura daya tarik. Sementara barisan motor, yang belakangan ini menjadi raja jalanan dan sering bertingkah aneh-aneh, tetap melaju di jalan itu.

Tak lama, di tengah hari yang lumayan panas, hakim di pengadilan itu memutuskan dengan mengetuk palu. Terdakwa dinyatakan bebas. Bukan dia dalang pembunuh Munir, karena tak ada bukti yang memberatkan. Suciwati, istri sang aktivis, sangat kecewa. Bukan saja ia kehilangan separuh belahan jiwa. Ia juga merasa tak mendapatkan rasa keadilan di negaranya.

Kematian Munir, rupanya, tak berarti apa-apa. Bahwa ia mati dibunuh, tapi pengadilan tak bisa mengungkap siapa dalang utamanya. Ada pembunuhan, tapi tak ada pembunuhnya. Dalam pembunuhan itu yang ada hanya ada seorang yang mati. Yang mati itu bernama Munir. Yang mati itu dikenal sebagai aktivis kemanusiaan yang sering kali dianggap merepotkan karena berkaitan dengan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Menurut laporan, Munir mati karena diracun. Adakah orang yang berpikiran sehat mau minum atau makan racun?

Munir tidak sendiri. Di Jakarta banyak orang yang mati tapi tak diketahui siapa pembunuhnya. Sebelumnya, menjelang reformasi, ada beberapa aktivis mahasiswa mati tertembus peluru di dekat Universitas Trisakti dan Jembatan Semanggi. Seperti Munir, pembunuh mereka sampai saat ini tak pernah diketahui.

Ibukota ini seperti hutan rimba. Siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, dia merajalela. Yang kuat boleh membunuh. Yang berkuasa boleh mematikan orang lain. Tanpa pernah bisa tersentuh tangan hukum.

Ibukota ini tak pernah mau berubah. Dari tahun ke tahun. Dari tahun yang lama ke tahun yang baru. Tak akan pernah ada yang baru di tahun baru. Tahun baru tak pernah berarti apa-apa.

Tahun 2009 akan ramai. Karena menjelang pemilihan presiden. Semua orang mau menjadi presiden. Wajah kota menjadi kotor dan kumuh dipenuhi spanduk, umbul-umbul, baliho berisi wajah-wajah yang tidak kita kenal tapi mengumbar janji-janji surga. Sejak reformasi, bisnis pemilihan-pemilihan model begini sangat marak dan bikin muak. Rasanya, setiap waktu kita dihabiskan buat memilih pemimpin. Sementara mereka yang terpilih lupa akan janji-janji surga, justru membuat neraka-neraka dunia.

Sudah lebih dari setahun Bang Kumis tidak membuat perubahan yang berarti yang mengubah denyut nadi Jakarta. Bahkan mulai tahun ini membuat ide gila mewajibkan anak-anak sekolah mulai jam 6.30 pagi. Katanya buat mengurangi kemacetan. Tampaknya, ia sudah frustasi lantaran tak bisa mengerem laju pertumbuhan kendaraan sebagai biang kerok kemacetan di Jakarta. Karena Bang Kumis punya kuasa, maka ia perintahkan para pelajar yang tak berdaya buat berangkat sekolah sehabis sholat Subuh. Mereka berangkat masih dalam keadaan terkantuk-kantuk. Bisa dibayangkan kalau pada jam pertama mereka ada ulangan sementara semalam ngebut belajar.

Bang Kumis menjadi contoh. Bahwa orang hanya bernafsu ingin menjadi. Ketika hasrat itu terpenuhi maka yang terjadi adalah pejabat jadi-jadian. Ingin menjadi pejabat, jadinya pejabat jadi-jadian. Tanpa visi, tanpa misi. Sebagian warga Jakarta yang sinis memanjangkan nama Bang Kumis menjadi bangga menjadi kumuh dan miskin.

Jakarta juga mencatat kematian prestasi sepakbola Indonesia. Tim nasional sepakbola kita sudah satu level di bawah Thailand, Singapura, dan Vietnam. Kita tak pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, tapi berani mengkhayal setinggi langit Asia dan dunia. Sepakbola kita masih berisi kerusuhan supporter, perkelahian di atas lapangan hijau, dan kerugian miliaran rupiah yang ditanggung perusahaan yang menjadi sponsor. Pengurus sepakbola kita masih bolak-balik dengan urusan wajib lapor bebas bersyarat, cek kosong, dan jadwal kompetisi yang bisa berubah seenak jidat.

Ini hari terakhir di tahun 2008.

Jakarta, menjelang masuk tahun baru 2009, terbilang lengang.

Dan Jakarta pun tak pernah mau berubah. Tak pernah mengerti apa itu kata baru.

Jakarta masih akan tetap seperti hutan rimba.

(AH, 31 Desember 2008)

Selasa, 30 Desember 2008

Cita-citanya Tak Boleh Berhenti, Meski Bung Ronny Sudah Pergi

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1571/fokus/2008/12/28/1030804/catatan-nasional-cita-citanya-tak-boleh-berhenti-meski-bung-ronn)


Hari Sabtu 27 Desember 2008 merupakan seratus hari meninggalnya salah satu legenda sepakbola nasional Ronny Pattinasarani yang wafat pada 19 September lalu. Di akhir hidupnya, ia sungguh prihatin dengan prestasi tim nasional Indonesia yang miskin prestasi dan manajemen sepakbola kita yang semakin amburadul.


Harus diakui saat ini prestasi sepakbola Indonesia berada di titik nadir. Jangankan untuk tingkat dunia dan Asia, di kawasan Asia Tenggara saja kita sudah paceklik prestasi selama 17 tahun ini. Terakhir kali Indonesia meraih medali emas SEA Games 1991. Setelah itu, tak satupun gelar bergengsi di kawasan Asia Tenggara dan Asia berhasil diraih. Alih-alih, kita malah kalah terus oleh tim yang dulu levelnya jauh di bawah tim nasional sepakbola Indonesia, sebut saja Vietnam dan Myanmar. Dua negara tetangga ini sepakbolanya terbilang maju pesat, sementara prestasi sepakbola Indonesia jalan di tempat.

Bangkit dan majunya sepakbola Indonesia inilah yang selalu dicita-citakan Ronny Pattinasarani, salah satu legenda sepakbola kita, dalam setiap langkah hidupnya. Cita-cita ini lah yang ingin ia wujudkan: ”Indonesia menjadi negara yang diakui di Asia dan dunia”.

Meraih cita-cita mulia itu, Bung Ronny, begitu ia biasa diakrabi, memulainya dari hal yang paling mendasar. Membina para pemain sepakbola sejak usia dini. Ia merintis pembangunan sekolah sepakbola untuk anak-anak (SSB). Hingga saat ini sudah banyak SSB-SSB lainnya tumbuh subur dan menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air dan menampung bakat-bakat pesepakbola cilik.

Selain memulai SSB, Bung Ronny juga yang membawa futsal dan mempopulerkannya di Indonesia. Ia yakin bahwa futsal itu menjadi bagian integral dari pembangunan sepakbola modern. Ia, didukung McDonald’s Indonesia dan Harian KOMPAS, berkeliling ke sejumlah kota besar sepanjang tahun 2001 hingga berhasil membawa Indonesia sebagai tuan rumah Kejuaraan Asia Futsal setahun kemudian. Bung Ronny melihat korelasi yang kuat antara futsal dengan sepakbola. Di negara-negara yang sepakbolanya berkelas dunia – seperti Brasil, Spanyol, Iran, dan Jepang – perkembangan olahraga futsalnya juga sangat maju. Keempat negara itu dapat dikatakan menjadi langganan tampil di Piala Dunia.

Tiga tahun terakhir Bung Ronny semakin fokus mewujudkan cita-citanya. Sejak tahun 2006 ia membidani dan menangani Liga Medco, kejuaraan sepakbola resmi PSSI untuk anak-anak berusia 15 tahun. Ia sungguh beruntung mendapatkan dukungan penuh Arifin Panigoro, pendiri sekaligus pemilik MEDCO Group, untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kesamaan visi kedua tokoh ini untuk memajukan sepakbola Indonesia melalui pemain-pemain berbakat sejak usia dini membuahkan hasil yang bagus melalui Liga Medco.

Selama tiga tahun ini Liga Medco, yang didukung penuh Medco Foundation, memberikan kesempatan kepada 1500 pesepakbola berbakat dari seluruh Indonesia tampil di pentas nasional. Mereka pun terjaring dan berhasil masuk skuad tim nasional sepakbola Indonesia U-15 dan U-16. Bahkan tim nasional Indonesia U-17 yang saat ini melakukan pemusatan latihan nasional selama dua tahun di Uruguay hampir diisi pemain-pemain yang berasal dari Liga Medco.

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 2007 lalu, Arifin Panigoro sempat mendorong Ronny Pattinasarani untuk menjadi Ketua Umum PSSI. Dukungan Pak AP, begitu tokoh nasional ini dipanggil koleganya, setelah ia melihat segala upaya yang dilakukan Ronny selama ini untuk memajukan sepakbola Indonesia. “Ron, saya yakin kamu bisa memajukan sepakbola Indonesia. Sepakbola kita hanya bisa dibangun oleh orang yang mengerti, merasakan, dan mencintai sepakbola. Dan kamu punya itu semua. Kalau kamu mau (jadi Ketua Umum PSSI), pasti, saya akan bantu. Saya yakin kamu juga bisa sehebat Franz Beckenbauer dan Michel Platini yang sukses sebagai organisatoris di asosiasi sepakbola setelah sukses sebagai kapten tim nasional di negara masing-masing,” ungkap Pak AP meyakinkan Ronny, saat itu. Seperti halnya Beckenbauer dan Platini, jabatan kapten tim nasional pernah disandang Ronny.

Bung Ronny berterima kasih kepada Pak AP yang mempercayainya menjadi Ketua Umum PSSI. Tapi, bukan jabatan itu yang menjadi cita-citanya. “Saya ingin membina sepakbola melalui anak-anak. Karena dari sana lah sepakbola Indonesia akan menemukan masa depannya,” tuturnya. Dan selama tiga tahun menangani Liga Medco, cita-cita itu mulai menemukan titik terangnya.

Sayang, cita-citanya membawa Indonesia sebagai negara sepakbola berkelas dunia belum terwujud. Pada 19 September 2008 lalu, Bung Ronny kembali ke rumah Sang Khalik. Ia beristirahat di sebuah lapangan hijau yang sangat luas dengan danau berada di tengah-tengahnya.

Bagaimanapun cita-cita besar Bung Ronny masih harus kita lanjutkan, sampai Indonesia betul-betul menjadi negara yang punya nama di jagad sepakbola dunia. Sebuah upaya yang masih sangat panjang dan butuh keseriusan kerja kita semua secara bersama-sama.

Cita-cita mulia Bung Ronny untuk kejayaan sepakbola Indonesia tak boleh berhenti, meski dia sudah pergi….


ABI HASANTOSO, bekerja bersama Ronny Pattinasarani di Tim Pengembangan Futsal PSSI – McDonald’s Indonesia 2001 – 2002 dan Liga Medco 2006 – 2008



(AH, 27 Desember 2008)

CATATAN PIALA AFF 2008: Hanya Jalan Revolusi yang Dapat Menyelamatkan Sepakbola Indonesia

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1571/fokus/2008/12/22/1024044/catatan-piala-aff-2008-hanya-jalan-revolusi-yang-dapat-menyelama)

Tim nasional sepakbola Indonesia gagal total di Piala AFF 2008, karena target menjadi juara tak bisa dipenuhi.

Kejadian final di sebuah turnamen pemanasan di Yangon, Myanmar, terulang lagi pada semi-final kedua turnamen resmi Piala AFF 2008 di Bangkok, Thailand. Sebulan lalu, pada Jumat (21/11) sore kita gagal mengalahkan tuan rumah Myanmar di final. Dan pada Sabtu (20/12) malam lalu kita juga kembali gagal mengalahkan sang tuan rumah, Thailand, sehingga gagal ke final Piala AFF yang tahun ini disebut dengan AFF Suzuki Cup 2008. Indonesia kalah 1-2 di dua turnamen itu, meski tak seorangpun pemain kita yang berhasil menjaringkan bola ke gawang lawan. Gol untuk Indonesia dicetak oleh pemain tuan rumah yang melakukan gol bunuh diri ke gawangnya sendiri...!

Pada pertandingan itu timnas Indonesia, tampaknya, bermain bertahan dan sesekali mencoba melakukan serangan balik ketika unggul lebih dulu 1-0 melalui gol bunuh diri pemain belakang Thailand, Chonlatit Jantakam, di menit ke-9 babak pertama. Pelatih Benny Dollo berharap para pemainnya bisa menahan skor itu hingga akhir babak kedua. Sehingga akan ada perpanjangan waktu – lalu berharap keberuntungan pada saat terjadi adu penalti – sehingga Indonesia kemungkinan bisa lolos ke final AFF Suzuki Cup 2008.

Tapi Thailand adalah sebuah tim yang haus kemenangan dan para pemainnya lapar mencetak gol. Tim Negeri Gajah Putih itu pun lalu melancarkan berbagai serangan dari segala penjuru lapangan untuk mengejar ketertinggalan dan memenangkan pertandingan atas Tim Merah-Putih. Setelah ketinggalan satu gol, Thailand pun mengurung Indonesia sepanjang sisa pertandingan. Pada menit ke-73, Thailand berhasil menyamakan kedudukan melalui gol indah yang dicetak Teerathep Winothai setelah menerima umpan matang dari Teerasil Dangda yang gagal disapu-bersih oleh center back kita, Muhammad Roby. Meski hasil imbang di kandang sudah dapat meloloskan ke final, para pemain Thailand tetap bernafsu menjebol gawang Indonesia . Akhirnya, gol kemenangan itu pun tercipta di menit-menit akhir pertandingan melalui tendangan keras pemain pengganti, Roonachai Rangsiyo, di menit ke-89.

Kemenangan itu, bagi tim Thailand , bagus untuk menjaga mental dan moral pemain untuk merebut gelar juara yang lepas tiga tahun lalu. Kemenangan ini juga menunjukkan betapa inginnya para pemain Thailand memenangkan setiap pertandingan yang dijalani sepanjang turnamen Piala AFF. Hingga menjelang final Piala AFF, di bawah pelatih berkelas Liga Premier Inggris, Peter Reid, Thailand menjadi satu-satunya tim yang tak pernah kalah dan hanya kebobolan satu gol, satu-satunya gol itu pun merupakan gol bunuh diri pemainnya sendiri bukan dicetak pemain lawan, lebih tepatnya bukan dicetak pemain Indonesia.

Thailand tahu dan sadar betul hanya kemenanganlah yang dapat membawa mereka melaju ke partai puncak final Piala AFF untuk kelima kalinya. Piala AFF adalah sebuah turnamen, seperti halnya Piala AFC dan Piala Dunia FIFA. Tim hanya memerlukan kemenangan, kemenangan, dan kemenangan untuk menjadi juara. Tim yang kalah adalah tim yang gagal. Dalam sebuah turnamen, sebuah tim tak bisa disebut sebagai tim yang baik kalau ia tak bisa lolos ke final dan menjadi juara. Karena sebuah turnamen itu memainkan sistem pertandingan knock-out, siapa yang kalah dia harus keluar lapangan. Pendek kata, juara sebuah turnamen itu hanya untuk tim-tim terbaik.

Dalam sepakbola, di luar faktor ”dewi fortuna”, tim yang tampil bermain menyerang pantas mendapatkan kemenangan. Meski ”bola itu bundar”, kemenangan juga perpihak kepada tim yang bersungguh-sungguh bekerja di atas lapangan hijau. Karena teori ”bola itu bundar” hanya berlaku bagi tim-tim yang mempunyai level sama, tapi tidak berlaku bagi tim yang beda kelas. Teori ”everything is possible in football” juga cuma berlaku bagi tim yang punya kemampuan setara dengan lawannya.

Maka, pantas lah bila Thailand yang melaju ke final Piala AFF tahun ini dan bertemu Vietnam yang secara mengejutkan berhasil menjungkalkan juara bertahan Singapura dalam pertandingan bermutu yang enak ditonton itu. Thailand berusaha mencatat sejarah sebagai negara pertama yang meraih gelar juara keempat kali dari lima kali final yang dijalani sepanjang turnamen Piala AFF. Sebelumnya, Thailand sudah mencatat sejarah sebagai negara yang meraih juara untuk pertama kalinya pada turnamen tertinggi di Asia Tenggara yang bergulir sejak tahun 1996 ini. Selama tujuh kali turnamen digelar, Thailand hanya dua kali gagal ke final Piala AFF yaitu pada tahun 1998 dan 2004 saja.

Sebetulnya, dalam sejarah Piala AFF, prestasi Indonesia sebelumnya cukup membanggakan. Indonesia pernah berhasil lolos ke final tiga kali berturut-turut. Tapi semuanya gagal jadi juara dan hanya jadi runner-up. Pada final Piala AFF 2000, Indonesia dijegal Thailand, 4-1. Berikutnya, di final Piala AFF 2002, lagi-lagi Indonesia dikalahkan Thailand melalui adu penalti, 4-2, setelah aggregat 2-2. Dan pada Piala AFF 2004, Indonesia dikalahkan Singapura dengan skor aggregat 5-2. Di tiga turnamen itu para penyerang Indonesia juga berhasil menjadi pencetak gol terbanyak melalui Gendut Doni (5 gol, 2000), Bambang Pamungkas (8 gol, 2002), serta Ilham Jaya Kesuma (7 gol, 2004).

Artinya, sudah hampir lima tahun ini sepakbola Indonesia terpuruk di Asia Tenggara. Faktanya, kita tak pernah berhasil meraih satu kali pun juara Piala AFF yang sudah tujuh kali diselenggarakan. Kalau mau dihitung mundur, prestasi terbaik sepakbola Indonesia di Asia Tenggara itu tercatat pada 17 tahun lalu. Itu pun melalui pesta olahraga akbar multi-cabang ketika berhasil meraih medali emas SEA Games yang berlangsung di Manila, Filipina, pada tahun 1991. Prestasi terbaik di SEA Games itu pun sudah lama sekali. Dan di turnamen yang khusus untuk sepakbola seperti Piala AFF, Indonesia belum pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara.

Apakah kita masih akan terus ber-utopia bisa menjadi juara Piala Asia? Atau berkhayal bisa lolos ke Piala Dunia? Sementara untuk tingkat Asia Tenggara saja kita tak pernah bisa jadi juara.

Mari kita mencoba hidup dalam realitas yang sebenarnya. Realitasnya, sepakbola Indonesia, saat ini, betul-betul sedang terpuruk, meski belum masuk ke dasar jurang. Dan bila dibiarkan karena kita tidak peduli lagi, apakah kita mau sepakbola kita jatuh terkapar di dasar jurang?

Jutaan pendukung fanatik timnas Indonesia, termasuk saya, berkeyakinan bahwa sepakbola Indonesia masih bisa diselamatkan!

Hanya saja, untuk menyelematkan sepakbola nasional saat ini, satu-satunya jalan kita harus melakukan revolusi! Tidak ada pilihan lain. Revolusi sepakbola nasional saat ini merupakan satu-satunya keharusan yang harus kita tempuh untuk menyelamatkan dan membangkitkan sepakbola Indonesia. Dan, tentu saja, revolusi yang akan kita tempuh adalah revolusi yang damai, bukan revolusi melalui kekerasan.

Revolusi pertama adalah memberi kesempatan kepada para profesional yang memahami bahwa sepakbola adalah olahraga yang sangat disukai rakyat Indonesia dan dapat memberikan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Para pemilik suara, dalam hal ini pengurus daerah dan pengurus klub, yang menjadi perwakilan suara jutaan penggemar fanatik timnas Indonesia benar-benar bisa menentukan pilihan kepada pemimpin dan pengurus sepakbola kita yang profesional. Apakah kita mau melihat sepakbola Indonesia mundur di bawah kepengurusan seperti sekarang ini? Banyak yang bilang, mundurnya prestasi sepakbola Indonesia lantaran sepakbola kita dipimpin oleh orang-orang yang salah sehingga sepakbola kita berjalan amburadul dan kehilangan arah. Apakah sepakbola kita sudah kehilangan putera-putera terbaiknya untuk memimpin organisasi? Apakah sebagai sebuah bangsa kita tidak malu lantaran membangkang dari ketentuan baku yang sudah ditetapkan organisasi internasional tertinggi?

Revolusi kedua adalah mengembalikan liga utama kita kepada sistem kompetisi Galatama. Hanya klub-klub profesional saja yang layak berkompetisi. Saatnya kita mengelola kompetisi kita sebagai sebuah industri seperti yang terjadi di negara-negara yang sepakbolanya sudah maju. Klub-klub hidup melalui sponsor serta penjualan tiket dan merchandise klub, bukan mengandalkan dan menghambur-hamburkan dana miliaran rupiah dari APBD yang lebih pantas untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat banyak seperti subsidi di bidang pendidikan dan kesehatan. Liga utama kita cukup terdiri dari 18-20 klub saja, tanpa pembagian wilayah, dan harus ada sistem degradasi dan promosi dari kompetisi di bawahnya. Seperti diketahui, J-League, liga utamanya Jepang, dulu menjadikan Galatama sebagai salah satu rujukan utama sebelum mereka membuat liga utama. Dan hasilnya, pada Minggu (21/12) lalu kita melihat Gamba Osaka meraih posisi ketiga Piala Dunia Antarklub FIFA. Maka, kita wajib mempertanyakan apa arti kata ”super” dari Liga Super Indonesia yang kita lihat gagal menarik penonton datang ke stadion-stadion?

Revolusi ketiga adalah menegakkan hukum. Pengurus sepakbola kita harus tegas dan berani menerapkan hukuman kepada tim-tim, pengurus klub, dan wasit yang melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran berat. Sebagai rujukan, sebelum ditangani David Stern, kompetisi bolabasket paling bergengsi di dunia, NBA, dulu menjadi tempat para pemain beradu jotos, wasit yang memihak, dan pengaturan skor oleh bandar judi. David Stern yang ahli hukum lalu membenahi NBA dengan cara menegakkan aturan main yang sudah disepakati bersama. Sampai saat ini NBA tidak segan-segan memberikan hukuman bagi pemain, ofisial, pemilik klub, maupun wasit yang melanggar peraturan. Hasilnya, kompetisi NBA kini semakin mendunia, bahkan pernah membuka kompetisi di Jepang dan China.

Revolusi keempat adalah membubarkan kelompok supporter. Karena kelompok supporter sudah memecah belah kita sebagai sebuah bangsa. Padahal, oleh para pendiri negeri ini, sepakbola dulu dicita-citakan dan dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Hingga hari ini kita masih sering melihat ulah kelompok supporter yang sering mengamuk ketika timnya kalah. Apalagi secara sengaja sampai membakar stadion dan branding sponsorship. Ini tentu sangat merugikan para sponsor dan sepakbola kita sendiri. Karena ulah kelompok supporter yang lebih banyak negatifnya ini banyak orang-orang yang betul-betul cinta sepakbola enggan datang ke stadion. Kita bisa membedakan mana yang penonton sepakbola betulan dengan kelompok supporter pada saat timnas Indonesia bertanding. Kelompok supporter datang ke stadion dengan saltum, salah kostum, karena memakai kaos klubnya. Sementara pencinta bola sejati datang dengan kostum kebanggaan Merah-Putih. Kelompok supporter marah bila timnas kalah dengan cara melempar botol berisi air seni dari atas tribun, sementara penonton sepakbola betulan tetap berdiri memberi applaus.

Revolusi kelima adalah memperhatikan lebih serius pembinaan sepakbola usia dini, terutama untuk U-13, U-15, dan U-17. Kita harus memutar kompetisi usia dini secara berjenjang dan berkesinambungan. Karena di tiga tingkatan itulah kita mulai mendapatkan pemain-pemain berbakat yang bisa dijadikan bibit-bibit pemain di masa depan. Pemain-pemain tersebut tak perlu kita latih di luar negeri. Tapi dengan memberikan program yang terarah dan terukur dalam sebuah pemusatan latihan di Tanah Air.

Revolusi keenam adalah menggunakan jasa pelatih asing untuk menangani timnas kita. Kita masih melihat perlunya pelatih asing sebagai sesuatu yang sangat kita butuhkan untuk menangani para pemain kita yang suka bertindak aneh-aneh dan malas berlatih keras. Kita masih membutuhkan pelatih asing untuk menumbuhkan fighting spirit dalam permainan sepakbola. Kita perlu pelatih asing untuk meningkatkan kreativitas pemain-pemain kita, terutama saat membongkar pertahanan lawan dan mencetak gol. Kita perlu pelatih asing yang jujur dalam menilai kekuatan sendiri dan tim lawan. Kita perlu pelatih asing untuk kontrak jangka panjang dan kita harus sabar dengan program pelatihan yang disusunnya dan terbebas dari campur tangan pengurus.

Persoalannya, mungkinkah revolusi itu terjadi di bawah kepengurusan sekarang yang selalu membangkang ketentuan yang sudah diberikan FIFA sebagai regulator sepakbola dunia? Kalau tidak mungkin, apa yang akan kita lakukan sebagai pendukung fanatik timnas Indonesia yang sangat peduli dengan raihan prestasi tinggi untuk kebanggaan sebagai bangsa dan kejayaan sepakbola kita? Ayo, berbuatlah sesuatu! (*)

(AH, 22 Desember 2008)

Selasa, 23 Desember 2008

CATATAN PIALA AFF 2008: Kita Mulai Terbiasa dengan Kekalahan

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1390/pssi/2008/12/18/1017609/catatan-piala-aff-2008-kita-mulai-terbiasa-dengan-kekalahan)


Setelah kalah dari Singapura di babak penyisihan untuk menentukan juara grup, kali ini sebagai tuan rumah tim nasional sepakbola Indonesia lagi-lagi kalah dari Thailand di semi-final pertama AFF Suzuki Cup 2008.


”Kenapa, ya, kita mulai terbiasa menerima kekalahan?”

Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan menyentil ini dilontarkan seorang penonton dari tempat duduknya di VVIP Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat. Selasa (16/12) petang itu ia datang bersama lima temannya menjadi bagian dari 72.000 lebih supporter fanatik yang mendukung tim nasional Indonesia saat bertemu tim kuat Thailand di semi-final pertama AFF Suzuki Cup 2008.

Ia, juga para pendukung timnas yang selalu setia hadir ke Stadion Utama dan jutaan penonton televisi di rumah, berharap Indonesia menang di setiap pertandingan yang dijalani. Ternyata, bukan kemenangan yang didapat Indonesia. Tapi sebaliknya, lagi-lagi kekalahan yang menyesakkan!

Ia, juga para pendukung timnas yang selalu setia hadir ke Stadion Utama dan jutaan pendukung lainnya di seluruh Tanah Air, mengaku tidak akan pernah kapok mendukung timnas. Meski Indonesia kalah lagi, kalah lagi.

Sulit rasanya meraih kemenangan di tengah manajemen persepakbolaan kita yang hancur-lebur, carut-marut, dan absurd lantaran krisis kepemimpinan, keteladanan, dan moralitas. Sukar tampaknya ketika timnas Indonesia ditangani pelatih yang tak punya pola permainan dan miskin kreativitas, selain para pemain yang hanya bernafsu membawa bola berkeliling lapangan hijau tanpa tahu ke mana bola itu harus dialirkan secara akurat, cepat, dan para penyerang bisa mencetak gol ke gawang lawan di tengah penjagaan ketat lawan. Susah rasanya berharap pada pemain yang tidak merasa bangga berkostum Merah-Putih dan bermain tanpa nyali dan semangat tinggi, selain cuma berlari-lari ke sana ke mari.

Para pendukung fanatik timnas Indonesia, kini, mulai terbiasa dengan menerima kekalahan.

Seperti permainan Singapura saat perebutan juara grup, sejujurnya, di semi-final pertama Thailand juga bermain bertahan setelah berhasil mencuri satu gol di menit-menit awal pertandingan oleh striker bernomor punggung 10, Teerasil Dangda, di menit ketujuh babak pertama. Timnas Negeri Gajah Putih sengaja membiarkan para pemain kita bermain cepat seolah-olah timnas Merah-Putih bermain menyerang. Toh, pertahanan Thailand sulit ditembus. Lantaran duet penyerang kita, Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas, tak berkutik ditempel secara ketat oleh kuartet Suree Sukha, Chonlatit Jantakam, Nataporn Phanrit, dan Kapten Tim Thailand Datsakorn Tonglao.

Saking rapat dan ketatnya para pemain Thailand menempel, untuk melepaskan diri dan mencari bola, Budi bahkan beberapa kali sempat naik sampai ke tengah lapangan. Sementara BP jarang sekali mendapat bola karena dicegat lebih dulu para pemain belakang Thailand. Ini lah penampilan terburuk striker utama Indonesia itu di ajang AFF Suzuki Cup 2008. Bisa jadi ini akan menjadi penampilan terakhir BP di timnas, karena sebetulnya dia memang sudah tidak layak diberi tempat di timnas Indonesia. Meski perutnya belum begitu tambun seperti sang pelatih, reaksi BP sudah lamban dan ia sudah tak bisa melepaskan diri dari penjagaan pemain Thailand.

Bermain bertahan hampir dengan seluruh pemain di kotak penalti, Thailand sangat cepat ketika mendapatkan peluang menyerang balik. ”Seharusnya kami mencetak lebih banyak gol, tapi penjaga gawang Indonesia bermain baik,” kata Pelatih Thailand yang sudah malang melintang di Liga Premier Inggris, Peter Reid, memuji penampilan Markus Harison. Harus diakui, Markus tampil bagus di bawah mistar Indonesia. Ia menyelamatkan setidaknya tiga peluang Thailand yang mestinya menjadi gol. Markus tidak membuat kesalahan sama sekali. Satu-satunya gol Thailand yang bersarang ke jala gawang Indonesia bukan kesalahannya, tapi itu memang lantaran bangunan serangan yang dieksekusi secara jeli oleh Teerasil Dangda karena ia tak terkawal Kapten Timnas Charis Yulianto dan Nova Arianto.

Markus tidak salah, meski di akhir pertandingan ia terduduk lesu, badan lunglai, dan hati kecilnya menangis karena merasa bersalah atas gol yang terjadi saat Wasit Vo Minh Tri asal Vietnam membunyikan peluit panjang tanda pertandingan berakhir untuk kekalahan Indonesia.

Yang salah adalah Pelatih Benny Dollo. Bayangkan, sebelum turnamen bergulir ia berani sesumbar menargetkan gelar juara Piala AFF tahun ini untuk Indonesia padahal sebetulnya persiapan timnas ia akui sendiri tidak maksimal. “Waktu saya cuma sebentar untuk membentuk timnas ke Piala AFF,” jawab Bendol, panggilan akrab pelatih bertubuh tambun itu, seenaknya dan sekenanya saja. Lah kenapa ia yakin menjadi juara sementara ia sendiri merasa waktu persiapan sangat kurang. Lho memangnya dia tidak tahu kalau turnamen Piala AFF itu berlangsung dari 5 – 28 Desember dengan sistem knock-out, hanya tim pemenang yang berhak melaju ke final. Dengan kata lain, tak ada tempat di final bagi tim yang kalah seperti Indonesia!

Kita bisa menyimpulkan, apa yang dilakukan Bendol tak lebih dari omong besar yang tak didukung fakta yang dia miliki sendiri. Bagaimana bisa mengetahui kekuatan dua tim pemegang gelar Piala AFF, Thailand dan Singapura, yang bergantian menjadi juara selama 12 tahun ini jika ia masih mempermasalahkan kurangnya waktu bagi terbentuknya timnas yang ideal. Bendol hanya berkoar-koar seolah Indonesia adalah tim juara padahal kenyataannya tahu sendiri kan...!

Gelar juara Piala AFF, di atas kertas, tak mungkin diraih Indonesia. Memang, bola itu bundar. Tapi kelas kita saat ini setingkat di bawah Thailand, juga Singapura. Maka, Thailand pasti akan mengambil kemenangan di semi-final kedua yang akan dimainkan saat bertindak sebagai tuan rumah dengan dukungan puluhan ribu supporter fanatiknya. Mereka ingin mencetak rekor sebagai tim yang selalu menang dan tidak pernah kebobolan satu gol pun sepanjang turnamen, selain mencatat sejarah sebagai tim Asia Tenggara pertama yang berhasil menjuarai Piala AFF sebanyak empat kali! Tentu, ini juga menjadi ambisi pribadi Peter Reid untuk merebut gelar juara dari genggaman seteru abadi Singapura.

Kembali ke Bendol yang hanya umbar janji meraih Piala AFF, maukah ia mundur setelah gagal dan mengecewakan puluhan ribu supporter fanatik yang selalu setia memberi dukungan ke Stadion Utama Senayan dan jutaan lainnya yang selalu berharap di rumah? ”Saya merasa sudah berbuat yang terbaik buat timnas. Soal mundur urusan pengurus...,” papar Bendol yang datang terlambat saat jumpa wartawan usai pertandingan. Jawaban Bendol, tentu saja, mencontoh persis pengurus sepakbola kita yang tak mau mundur jika gagal.

Gagal di tingkat Asia Tenggara, Bendol tak mau mundur karena ia mungkin masih berencana membawa timnas Indonesia menjadi juara di level yang lebih tinggi, Asia, bahkan dunia. Eh, siapa tahu, Bendol berhasil. Selain bola itu bundar, kata Bendol, ”Everything is possible in football...!”

Penonton di VVIP tadi, juga 72.000 pendukung fanatik timnas Indonesia yang selalu datang ke Stadion Utama Senayan dan jutaan lainnya yang menonton televisi, sudah tidak peduli lagi dengan jawaban Bendol.

Ia, dan kita semua, sebaiknya mulai saat ini juga sudah harus terbiasa menerima kenyataan timnas Indonesia adalah sebuah tim yang selalu kalah dan gagal dalam sebuah turnamen resmi internasional. Timnas yang selalu kalah dan gagal ketika kita semua berharap untuk menang....

Maka, jangan lah lagi kita berharap timnas Indonesia bisa menang dan juara di Asia Tenggara. Sebaliknya, mari kita biasakan diri menerima kekalahan. Dengan bersikap menerima kekalahan seperti ini, seperti kata seorang psikolog, bisa membuat hidup kita wajar, terhindar dari stress, dan dijamin tak sampai harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Sepakbola kita, tanda-tandanya sudah mulai terlihat lima tahun belakangan ini, boleh saja nantinya betulan sakit jiwa. Yang penting, dengan bersikap terbiasa menerima kekalahan, kita pendukung setia timnas Indonesia tetap sehat wal afiat dan masih bisa berpikir waras.

Mudah ditebak, di masa datang, sepakbola hanya akan menjadi olahraga berlari-lari dengan bola saja, karena akal sehat, kreativitas, serta semangat yang menyertainya sudah mati di atas lapangan hijau sepakbola Indonesia. Dan pada saatnya nanti pun sepakbola Indonesia cuma untuk olahraga iseng-iseng mencari keringat, bukan olahraga yang membanggakan rakyat...!

(AH, 17 Desember 2008)

Rabu, 17 Desember 2008

CATATAN PIALA AFF 2008: Kalah Kelas, Timnas Gagal Memberikan Kegembiraan

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1387/nasional/2008/12/10/1005184/catatan-piala-aff-2008-kalah-kelas-timnas-gagal-memberikan-kegem)


Secara obyektif kita harus mengakui timnas sepakbola Indonesia saat ini bukan lagi yang terbaik di ASEAN.


Keinginan Pelatih Tim Nasional Indonesia Benny Dollo dan Kapten Tim Charis Yulianto yang ingin memberikan kemenangan di pertandingan terakhir babak penyisihan Grup A turnamen AFF Suzuki Cup 2008 hanyalah sebuah retorika belaka. Tak belih daripada psy-war menjelang pertandingan. Hanya sebuah perang urat syaraf, perang kata-kata kepada tim lawan menjelang pertandingan.

Ketika menghadapi pertandingan yang sesungguhnya, ternyata, hanya sebuah utopia. Mengharapkan yang tak mungkin sama sekali. Kemenangan yang diinginkan Pelatih Bendol dan Kapten Charis sebagai sebuah harga mati cuma khayalan semata.

Di atas lapangan timnas Indonesia tak membuktikannya dengan tindakan nyata. Pelatih Bendol menerapkan permainan tanpa taktik dan strategi yang jitu. Sementara Charis cs bermain seadannya. Dibanding dua pertandingan sebelumnya saat melawan Myanmar dan Kamboja, ini merupakan pertandingan terburuk Indonesia sepanjang babak penyisihan AFF Suzuki Cup 2008. Indonesia bermain menyerang tanpa bentuk, variasi, dan kreativitas.

Padahal, Singapura memilih bermain defensif dan mengandalkan serangan balik. Parahnya lagi, gol-gol kemenangan Singapura dihasilkan melalui bola-bola mati di awal-awal babak pertama dan babak kedua, tepatnya di menit ke-2 dan ke-50.

Pada pertandingan penting untuk menentukan juara grup, Pelatih Bendol masih mempercayakan the winning team di dua pertandingan sebelumnya saat menang 3-0 atas Myanmar dan 4-0 atas Kamboja. Banyak pihak yang menyayangkan Pelatih Bendol tidak menurunkan pemain-pemain yang punya gairah, punya nyali dan semangat tinggi, seperti Syamsul Bachri dan Aliyudin, sebagai pemain inti. Baik Syamsul dan Aliyudin keduanya merupakan pemain yang rajin menjelajah lapangan dan membuka ruang peluang saat menyerang. Mereka juga pemain-pemain yang mampu membakar semangat tim.

Ketika ditanya kenapa Pelatih Bendol tidak melakukan rotasi pemain, ia memberi jawaban yang sangat sumir. ”Kalau saya merotasi pemain dan ternyata kalah, nanti saya diserang juga,” kata Pelatih Bendol dengan nada tinggi saat konferensi pers usai pertandingan. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak bertanggungjawab dari seorang pelatih yang sudah kehilangan akal sehatnya.

Iming-iming BTN memberikan bonus Rp 1 miliar sama sekali tidak menggugah rasa para pemain untuk menjadi yang terbaik di ASEAN. Mungkin, karena itu pula BTN berani memberikan bonus setara peraih medali emas Olimpiade. BTN, mungkin, tahu sulit memacu semangat pemain. Satu-satunya yang memungkinkan adalah memberi uang segudang. Terlebih lagi banyak pemain yang mata duitan. Tapi tetap saja pancingan itu sama sekali tak berarti apa-apa untuk memompa semangat pemain meraih kemenangan.

Singapura, memang, tim berkelas. Di luar naturalisasi tujuh pemain asing yang memperkuat timnas Negeri Singa itu, mereka bermain sangat rapi dan disiplin. Ketika tim Indonesia menyerang dan mendapatkan bola mati dari tendangan bebas atau tendangan sudut, 8 pemain bersiaga membentengi gawan Lionel Lewis. Hanya menyisakan Kapten Tim Indra Sahdan sebagai jangkar penghubung dengan penyerang Agu Casmir yang stand-by di baris terdepan yang siap menerima bola. Pelatih Radojko Avramovic tahu bagaimana caranya menaklukkan Indonesia. Seperti di dua pertandingan sebelumnya, Singapura mencuri gol kemenangan di menit-menit awal. Sehingga tim lawan merasa terbebani. Apalagi timnas Indonesia yang didukung para penonton fanatiknya.

Kita kembali gagal memenangi pertandingan melawan Singapura di ajang sepakbola tertinggi di ASEAN ini. Kita juga malu karena tak bisa mencetak satu pun gol ke gawang negeri jiran itu. Myanmar saja mampu memberi perlawanan dengan mencetak satu gol ke gawang Singapura. Kalau melihat fakta ini, kita tidak lebih baik dibanding Myanmar.

Dengan kata lain, kelas kita sudah lebih rendah satu tingkat dibanding Singapura. Kita kini hanya menjadi tim medioker yang hanya bisa menang melawan tim lemah seperti Myanmar dan Kamboja. Kita masih kesulitan menghadapi tim yang bersemangat tinggi seperti Vietnam. Dan merasa senang kalau bisa main draw dengan Malaysia. Melawan Thailand? Jangan harap bisa menang. Kelas Thailand sama seperti Singapura.

Pantas kalau hanya Thailand dan Singapura saja yang mampu merajai turnamen yang digelar sejak tahun 1996 ini. Keduanya, memang, lebih pantas tampil di final ketujuh Piala AFF ini. Thailand atau Singapura akan menentukan diri siapa yang berhasil memecahkan rekor menjuarai turnamen ini sebanyak empat kali. Apapun hasilnya, Thailand dan Singapura memang dua tim yang terbaik di ASEAN saat ini!

Kapan Indonesia bisa berbicara lagi di ASEAN, setelah 17 tahun lalu meraih medali emas SEA Games?

Hari ini timnas kita lagi-lagi gagal memberikan kegembiraan pada pendukung fanatiknya. Padahal kemenangan inilah satu-satunya hiburan yang menyenangkan hati sepanjang tahun ini karena timnas kita di bawah kendali Pelatih Bendol paceklik prestasi internasional.

Untuk membangun timnas yang tangguh dan punya karakter, saya berpendapat, pertama-tama kita harus mencari pelatih asing minimal sekelas Peter Withe atau Ivan Kolev. Kalau bisa, tentunya berkaitan dengan budget yang dimiliki, kita dapat pelatih asing yang kualifikasinya melebihi dua pelatih asing di timnas terdahulu.

Buat pelatih Bendol cukup sampai di sini saja. Biarlah ia ”dibandrol” ke klub-klub yang berminat mengontraknya untuk kompetisi lokal.

(AH, 9 Desember 2008)

CATATAN PIALA AFF 2008: Timnas Melangkah Tanpa Gairah

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1387/nasional/2008/12/08/1002029/catatan-piala-aff-2008-timnas-melangkah-tanpa-gairah)


Pada pertandingan terakhir babak penyisihan Grup A Piala AFF 2008, Selasa (9/11), Indonesia harus mengalahkan Singapura dan menjadi juara grup untuk memberi kegembiraan kepada para pendukungnya.


Sepakbola adalah gairah. Sepakbola itu menggairahkan. Sepakbola itu kegairahan.

Karena menggairahkan hidup serta memberi kegairahan pada pikiran dan jiwa umat manusia, sepakbola dapat diterima menjadi olahraga yang paling digemari di seluruh dunia. Bukan saja orang-orang langsung bermain sepakbola, tapi banyak orang datang ke stadion untuk menonton sepakbola. Karena gairah ini, di beberapa negara bahkan sepakbola sudah menjadi semacam ritual ibadah tersendiri.

Sepakbola yang menggairahkan dan mendorong kegairahan justru tidak tampak pada penampilan kedua babak penyisihan Grup A tim nasional sepakbola Indonesia saat menghadapi tim lemah Kamboja di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, Minggu (7/12) malam. Maka para penonton yang merupakan pendukung fanatik pun kecewa menyaksikan penampilan Indonesia yang bermain seperti kurang bernafsu di atas lapangan rumput hijau.

Meski skor akhir yang dicetak lebih baik, 4-0 (1-0), dibanding pertandingan sebelumnya melawan Myanmar (3-0), sesungguhnya, Indonesia tampil lebih buruk. Lagi-lagi, sepakbola, memang bukan soal skor akhir pertandingan. Tapi juga menyangkut kegairahan penampilan para pemain saat memainkan bola di atas lapangan.

Koordinasi yang buruk, penguasaan bola yang lemah, serta umpan-umpan yang sering salah sasaran tampak menonjol dan dipertontonkan berulang-ulang. Komunikasi antarpemain juga kurang terjalin rapi. Stamina yang menurun juga membuat para pemain tampil kedodoran.

Soal stamina para pemain, memang, menjadi keprihatinan kita bersama. Bagaimana mau bergairah bila stamina tidak mendukung. Padahal pelatih fisik di timnas Indonesia saat ini merupakan yang terbaik. Dia lah Octavianus Matakupan, salah satu physical trainer terbaik yang kita miliki. Dia sudah berpengalaman saat mempersiapkan tim pendakian Himalaya, klub bolabasket Aspac, klub sepakbola Persikota, tim ahli kebugaran di KONI Pusat dan KONI Daerah Banten, sebelum ditarik Pelatih Benny Dollo bergabung ke timnas Indonesia.

”Banyak pemain yang tidak menjaga kondisi tubuhnya saat kembali ke klub. Ketika masuk pemusatan timnas, saya sering kali harus bekerja keras membuat program untuk mengembalikan mereka pada kondisi terbaik,” jelas Octav, suatu hari. Dengan kata lain, klub tidak terlalu mementingkan latihan fisik yang terprogram.

Stamina yang buruk, sehingga para pemain cepat lelah dan mudah kehilangan konsentrasi, ini lah pangkal penyebab timnas kita kehilangan gairah permainan saat melawan Kamboja. Perlu stamina ekstra untuk bisa bermain konsisten penuh konsentrasi selama 2 x 45 menit.

Kita bersyukur, Budi Sudarsono membuat hat-trick dan menjadikannya topskor sementara turnamen ini bersama Agu Casmir (Singapura) dengan total empat gol dari dua pertandingan yang sudah dilalui. Budi termasuk salah satu pemain yang bergairah membela timnas Indonesia. Ia berlari mencari ruang. Menggangu konsentrasi pertahanan para pemain Kamboja. Dan pada saat yang tepat, ia memanfaatkan peluang-peluang emas menjadi gol-gol yang indah. Ia pantas mendapat julukan ”Budigol” dari para penggemar. Gayanya mengingatkan kita pada striker asal Argentina yang meroket di ”La Viola” Fiorentina, Gabriel Batitusta, yang dipanggil dengan ”Batigol”.

Berbeda dengan Bambang Pamungkas (BP). Sudah saatnya Pelatih Bendol memberikan kesempatan kepada Aliyudin, tandemnya di Persija Jakarta, untuk berduet dengan ”Budigol” pada pertandingan terakhir melawan Singapura dan partai semifinal nanti.

BP bermain terlalu salon dan tidak mau berkeringat. Hanya mencetak masing-masing satu gol di dua pertandingan bukti bahwa BP sudah kehilangan gairah bermain di timnas. Padahal dia lah striker utama timnas Indonesia. Saatnya, Pelatih Bendol harus berani seperti Pelatih Timnas Spanyol Luis Aragones yang tidak memanggil Raul Gonzales, meski pemain ini merupakan idola para penggemar sepakbola Negeri Matador. Toh, BP cuma dibangku-cadangankan sementara sampai gairah bermainnya kembali pulih. BP tetap ada dalam daftar pemain pengganti timnas, nasibnya masih lebih baik dibanding Raul yang hanya bisa menonton pertandingan Piala Eropa.

Selain Aliyudin, Pelatih Bendol wajib memasukkan pemain penuh gairah seperti Syamsul Bachri dalam skuad inti. Pemain ini selalu bermain kesetanan dengan stamina seperti kuda jingkrak. Ia pantas mengisi posisi Ponaryo Astaman sebagai gelandang serang yang juga kuat bertahan. Ketika ia masuk, penampilan timnas terlihat lebih bergairah.

Berbeda dengan Elie Aiboy yang bukan saja tidak bergairah, tapi main seadanya. Duel satu lawan satu saja ia sudah tidak bisa. Penampilan Elie bisa merusak citra produk minuman berenergi internasional yang dibintanginya sebagai local hero. Ia tidak mencitrakan pemain nasional yang “keep going everyday”. Tapi seorang pemain timnas yang loyo. Boro-boro bisa menyamai citra Wayne Rooney, bintang sepakbola Inggris, untuk iklan produk yang sama.

Saat ini, timnas Indonesia memerlukan para pemain yang bergairah di atas lapangan hijau. Bukan cuma para pemain yang percaya diri. Tugas Pelatih Bendol menemukan mereka, supaya sepakbola Indonesia bisa berjaya.

Indonesia, memang, sudah mengantungi satu tiket semifinal AFF Suzuki Cup 2008. Kita jangan buru-buru membicarakan peluang kita di semifinal, apalagi final. Sebaiknya , Indonesia fokus di pertandingan terakhir melawan Singapura di babak penyisihan Grup A. Menghadapi Singapura, sang pemegang gelar juara bertahan Piala AFF dua tahun berturut-turut, timnas Indonesia harus berisi pemain-pemain yang punya gairah dan semangat juang tinggi. Kita harus memenangi pertandingan itu dan menjadi juara grup. Karena itulah satu-satu peluang yang bisa memberikan kegembiraan kepada publik pencinta sepakbola di Tanah Air di tengah paceklik prestasi yang membanggakan selama 17 tahun terakhir ini.

Tidak bisa tidak, Indonesia harus mengalahkan Singapura!

(AH, 8 Desember 2008)

CATATAN PIALA AFF 2008: Menang Pada Laga Pertama Bukan Jaminan Indonesia Juara

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1387/nasional/2008/12/07/1000130/catatan-piala-aff-2008-menang-pada-laga-pertama-bukan-jaminan-in)


Indonesia masih harus melalui serangkaian pertandingan berat melawan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebelum mengukuhkan diri menjadi yang terbaik di sepakbola ASEAN. Prestasi terbaik Indonesia diraih 17 tahun lalu melalui medali emas SEA Games yang berlangsung di Manila, Filipina.


Tim nasional sepakbola Indonesia , yang baru saja gagal di sebuah turnamen antarnegara di Myanmar, memulai turnamen Piala ASEAN berjuluk AFF Suzuki Cup 2008 dengan hasil lumayan. Pada pertandingan pertama Piala ASEAN, Jumat (5/12), berhasil menang 3-0 (2-0) atas tamunya, Myanmar , sekaligus membalas kekalahan dua minggu lalu.

Menang telak 3-0, kok, dibilang lumayan?

Lumayan, memang.

Karena kemenangan yang diraih itu merupakan kemenangan individu. Bukan kemenangan sebagai sebuah tim.

”Secara keseluruhan, penampilan timnas Indonesia biasa-biasa saja. Jangan lihat skor (berapa gol yang dicetak), ya,” kata Bambang Nurdiansyah, mantan penyerang timnas Indonesia yang kini menjadi pelatih, usai pertandingan ketika ditemui wartawan di VIP Barat Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta.

Permainan Indonesia melawan Myanmar masih meninggalkan sejumlah catatan. Terutama kerjasama tim antar lini belakang – tengah – depan. Para pemain belakang kita, yang dikoordinasi Kapten Tim Charis Yulianto masih kurang ketat menutup ruang gerak pemain depan Myanmar. Beberapa kali peluang tercipta oleh Myanmar. Bahkan di babak kedua, ada dua peluang Myanmar yang nyaris memperkecil kekalahan. Untung saja, satu bola berhasil di-tip Kiper Markus Harison dan satu sundulan lagi terbang tipis di atas mistar Indonesia.

Untung ada Budi Sudarsono, yang dengan gaya khasnya mengelabui satu dua pemain lawan di kotak penalti, mencetak gol dengan indah sehingga Indonesia unggul 1-0. Gol ini, memang, mampu meningkatkan semangat para pemain kita. Namun, lagi-lagi kita tak memiliki bangunan serangan yang dirancang dengan baik. Kita juga terlalu memaksakan menyerang dari sayap kanan. Sementara sayap kiri kita nyaris kurang memberikan kontribusi umpan matang kepada Penyerang Bambang Pamungkas (BP) di kotak penalti.

Gol kedua Indonesia merupakan kecerdikan pemain yang selalu tampil penuh semangat, Firman Utina, yang memang pantas menjadi man of the match. Firman mempersembahkan gol penting itu untuk ayahnya dan anaknya yang sedang sakit. Kita tentu berharap keduanya lekas sembuh. Sehingga Firman bisa lebih berkonsentrasi lagi pada laga-laga penting berikutnya yang masih harus dijalani.

Masuknya Aliyudin, duet BP di Persija Jakarta, membawa berkah buat BP. Pemain yang konon bergaji paling mahal di Liga Super Indonesia itu, memang, belakangan sangat mandul dan paceklik gol. Kalau BP tak mencetak gol lagi banyak orang yang meminta Pelatih Benny Dolo untuk mendudukannya di bangku cadangan. Biar BP tahu bahwa banyak orang berharap pada keahlian dia mencetak gol ke gawang lawan. Dari penetrasi Aliyudin yang merobek daerah kiri pertahanan Myanmar, akhirnya, BP mencetak gol indah yang mengecoh Kiper Aung Aung Oo meski ia dihalangi pemain belakang lawan.

Di menit-menit akhir, Pelatih Bendol memasukkan dua pemain senior berpengalaman, Elie Aiboy dan Erol Iba. Kedua pemain ini cukup membuat pertahanan lawan kocar-kacir. Bahkan sebuah tandukan Erol di masa injury time nyaris memperbesar kemenangan Indonesia.

Ada baiknya, di dua pertandingan tersisa melawan Kamboja (Minggu 7/12) dan Singapura (Selasa, 9/12), Indonesia turun dengan formasi terbaiknya. Aliyudin, Elie, dan Erol sebaiknya masuk dalam tim inti. Kamboja harus diatasi kalau kita ingin memastikan diri melaju ke babak semifinal Piala ASEAN. Ini penting supaya Indonesia semakin matang saat menghadapi Singapura dalam pertandingan yang sesungguhnya di hari terakhir babak penyisihan Grup A. Kemenangan ini setidaknya menjadi modal yang baik sebelum jumpa Thailand atau Malaysia di semifinal AFF Suzuki Cup 2008 ini.

Itu artinya, kemenangan atas Myanmar, juga atas Kamboja dan Singapura yang sangat kita harapkan, masih akan mengalami tantangan berat di babak semifinal. Apalagi kalau timnas Indonesia masuk final. Menjadi juara, memang, harapan seluruh rakyat Indonesia. Karena Indonesia terakhir kali menjadi yang terbaik di sepakbola tingkat ASEAN sudah lama sekali, 17 tahun lalu, saat timnas meraih medali emas di SEA Games Manila pada tahun 1991.

Kita berharap kerjasama dan semangat juang tinggi timnas Indonesia semakin menghebat di puncak turnamen AFF Suzuki Cup 2008. Masa juara ASEAN aja gak bisa? Masa kita hanya puas dengan turnamen di dalam negeri sendiri?

Pertanyaan yang harus dijawab di atas lapangan. Tentu kita berharap kepada seluruh anggota timnas, bukan hanya mengandalkan permainan individu-individu semata.

Maka, menang pada laga pertama bukan berarti menjamin Indonesia bakal jadi juara kalau timnas kita tak bisa mengalahkan Singapura, Malaysia, dan Thailand.

(AH, 7 Desember 2008)

Kamis, 04 Desember 2008

OKB Versus OKaBa

Hidup di Jakarta kita bisa melihat beragam perilaku warganya yang majemuk lantaran penduduknya berasal dari mana-mana. Macam-macam tingkah. Beragam polah. Kadang lucu. Kadang bikin terharu. Mirip isi dan rasa makanan khasnya, gado-gado, yang bisa dicampuri nasi atau lontong.

Sebagai sebuah kampung besar yang lagi tumbuh pesat, banyak warga Jakarta yang taraf hidupnya juga meningkat. Mereka kini bisa makan enak di mana-mana tempat. Atau melihat kemiskinan dari balik kaca mobil sedan mewah ber-AC sangat dingin. Mereka berada di sebuah tempat yang terbilang nyaman.

Sebagian dari warga Ibukota yang baru naik kelas ini perilakunya suka pamer, snob, dan gayanya seperti yang punya Jakarta. Lagaknya sudah kayak orang yang paling pintar dan paling benar. Apa maunya, apa katanya.

Warga Jakarta yang modelnya seperti itu sering disebut sebagai OKB. Alias Orang Kaya Baru. Yah, namanya juga baru, maka OKB senang memperlihatkan apa yang dia punya. Rumah boleh tanpa garasi. Tapi mobil bisa dua sampai tiga biji. Alhasil, jalanan jadi tempat parkir.

OKB-OKB ini sudah tidak mau lagi berpikir dan memakai akal sehatnya. Apalagi mempertimbangkan budi luhurnya. Mereka sangat reaktif terhadap sesuatu hal yang terjadi. Untuk menghindari orang jahat masuk ke kompleks perumahannya, pasang portal. Selain warga kompleks, orang lain gak boleh lewat. Lantaran anaknya kesenggol motor, langsung teriak minta Pak RW bikin polisi tidur. Pokoknya, hidupnya gak mau susah. Sebaliknya, malah seneng bikin orang lain susah dan suka bikin sesuatu yang sebetulnya sama sekali tidak perlu – apalagi penting. Orang-orang ini sudah kehilangan hati. Sulit meminta mereka untuk berempati, apalagi mengharapkan simpati.

Pada tahap tertentu OKB-OKB ini gayanya kayak jagoan. Maunya main menang-menangan. Gak bisa diajak ngomong baik-baik dengan akal sehat, karena pikiran mereka gak nyampe buat berargumentasi. Jadi, yang ada cuma debat kusir. Ujung-ujungnya, pokoknya, bagi orang yang gak setuju diminta minggir.

Karena baru kaya, maka duitnya juga tanggung. Para OKB ini, sejatinya, sehari-harinya hidup rada-rada pelit karena harus banyak irit supaya bisa tetap terlihat kayak orang kaya. Sifat lain OKB yang juga menonjol adalah suka ngintip apa isi rumah tetangga kiri kanannya dan bawaannya sirik melulu.

Selain ada OKB, belakangan di Jakarta juga banyak tumbuh OKaBa. Ini istilah untuk menyebut Orang Kaya Baik.

OKaBa ini aslinya, memang, sudah kaya duit dan harta dari dulu. Meski high profit, mereka justru terlihat low-profile. Tidak memperlihatkan diri sebagai orang kaya. Sehari-hari justru tampil sederhana. Bahkan ada yang sangat biasa sekali. Tak menyangka kalau dia orang kaya betulan.

Saya pernah dengar cerita, seorang pemilik galeri perabotan rumah mewah yang showroom-nya terletak di Jalan Sudirman, diapit Hotel Sahid dan Mid Plaza, membiarkan sudut rumahnya yang mewah di perumahan elite jadi pangkalan ojek. Saya juga diberitahu kalau ada OKaBa yang biasa keluar masuk Istana Negara, setiap hari membagi-bagikan ratusan nasi bungkus kepada kaum miskin di pinggiran Jakarta.

Ada juga seorang OKaBa yang membiarkan dua kaca spion Toyota Alphard terbaru-nya yang harganya di atas Rp 1.000.000.000 itu ”dipotek” tangan-tangan iseng anak-anak jalanan ketika terjebak di kemacetan yang padat. ”Mau apalagi, mereka orang-orang yang lapar tapi tidak punya apa-apa. Sementara saya masih bisa membeli lagi atau pakai jaminan asuransi,” katanya, tanpa merasa perlu harus melapor ke kantor polisi terdekat.

Minggu lalu, saya menyaksikan sendiri, seorang OKaBa pemilik brand perhiasan terkenal menyerahkan uang arisannya yang berjumlah ratusan juta rupiah untuk sebuah yayasan pada sebuah acara reuni. Bayangkan, uang arisannya saja ratusan juta. Para OKB itu pasti langsung jatuh pingsan kalau tahu berapa banyak uang yang dimiliki OKaBa.

Jadi, kalau OKB uangnya tanggung, OKaBa uangnya sedalam lautan dan setinggi segunung. OKB masih mencari-cari (uang). Sementara OKaBa sudah bisa membagi-bagi (uang).

Untuk urusan duit-duitan di Jakarta, rupanya, juga berlaku pepatah “di atas langit ada langit”. Duit OKB baru di langit pertama. Sedangkan duit OKaBa sudah berada di langit ketujuh. Perbedaannya sungguh jauh. Jelas terlihat, OKB gak ada apa-apanya dibanding OKaBa.

Jadi, buat para OKB, ngapain juga sombong?!

Wahai OKB, bercerminlah pada OKaBa yang kaya raya tapi hatinya sangat mulia.

OKB dan OKaBa, dua-duanya, ada di Jakarta. Saban hari OKB dan OKaBa mempunyai andil besar memacetkan ruas jalan-jalan di Ibukota yang banyak bolong-bolong dan terdapat galian di mana-mana. Setiap hari kiprah OKB dan OKaBa mewarnai gerak kehidupan kota yang dulunya merupakan sebuah kampung seluas 740,28 km2 yang umurnya sudah 481 tahun dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang ini....

(AH, 4 Desember 2008)

Rabu, 03 Desember 2008

Mbak Christine Hakim, FFI Harus Jalan Terus

Mbak Christine Hakim yang baik,

FFI harus jalan terus. Saya sangat-sangat setuju dengan harapanmu itu. Karena selama perjalanannya yang sangat panjang FFI sudah membuktikan diri sebagai festival yang mengakui karya-karya terbaik di dunia perfilman Indonesia dan selama itu pula masyarakat kita dapat menerima FFI dengan senang hati tanpa sedikitpun rasa benci.

Mengenai ada sekelompok anak muda yang mengklaim sebagai kaum pembaharu perfilman Indonesia yang berencana lagi-lagi ingin memboikot FFI biarkan saja. Tak usah ditanggapi. Apalagi sampai diurusi.

Soalnya, mereka hanya ingin mencari sensasi dan perhatian saja. Karena apa yang mereka lakukan untuk dunia perfilman kita harus ada imbalan baliknya buat mereka. Mereka berkarya tidak tulus. Mereka bekerja berharap mendapat tepuk tangan dan harus dilihat orang. Mereka pamrih ingin disebut dan diakui sebagai orang film yang hebat.

Tapi, karya film hebat apa, sih, yang sudah mereka buat?

Apa film-film mereka sudah sekelas film-film besutan Syumanjaya atau Teguh Karya atau Eros Djarot?

Petualangan Sherina, AADC?, Laskar Pelangi apakah sebanding dengan Budak Nafsu, Pacar Ketinggalan Kereta, atau Tjoet Nja' Dhien?

Mereka tidak bercermin.

Mereka justru over-acting.

Mereka anak-anak muda yang sombong, anak-anak muda yang pongah, suka bertingkah.

Maju terus, Mbak Christine Hakim. Hadapilah anak-anak muda yang suka cari muka dan ke-geer-an itu dengan terus berkarya, berkarya, dan berkarya.

Maju terus, Mbak Christine Hakim. Maju terus dunia perfilman Indonesia....

Selamat ber-FFI di Bandung, ya.

Dari seorang pengagum beratmu,
Abi Hasantoso

(AH, 3 Desember 2008)