Selasa, 15 September 2009

Roti Gambang Unyil Kiriman Ibu Rosiy

Seminggu menjelang lebaran menjadi hari-hari “terberat”. Lantaran banyaknya undangan berbuka puasa dari mana-mana. Bayangkan, dalam satu hari bisa ada dua sampai tiga undangan berbuka puasa. Padahal waktu berbuka puasa itu terjadi sekali: pada saat berkumandangnya adzan sholat Maghrib. Tak mungkin kan kita datang memenuhi undangan berbuka puasa di beberapa tempat yang berbeda pada saat yang sama.

Akhirnya, dengan “berberat” hati, kita terpaksa hanya memilih satu undangan dan membatalkan dua tiga undangan lainnya dengan cara mencari-cari alasan yang tepat supaya pengundang tidak tersinggung. Selain itu, menjadi “berat” lantaran perjalanan menuju tempat berbuka puasa, biasanya di restoran atau pusat perbelanjaan, di mana-mana dipenuhi kendaraan yang memadati jalan-jalan. Alias macet di mana-mana. Tambah “berat” lagi sebab cuaca di Jakarta belakangan ini lagi panas-panasnya, bisa mencapai 41 derajat celcius.

Senin (14/9) sore kemarin, kompasiana mengundang blogger-bloggernya berbuka puasa bersama. Tak kurang dari 100 orang diundang, dan lebih dari 80% undangan menyatakan akan hadir. Mengantisipasi hal-hal yang “berat” tadi, sejumlah blogger datang sangat awal. Ada yang tiba pukul 4 sore di tempat acara berbuka, Restoran Dapur Sunda yang terletak di kawasan Cipete Raya, Jakarta Selatan.

Saya datang ke acara buka bersama kompasiana dengan membatalkan salah satu undangan berbuka puasa lainnya. Kebetulan yang mengundang kakak ipar. Jadi, dia bisa maklum. Karena kumpul-kumpul dengan blogger kompasiana tak bisa setiap minggu, apalagi setiap hari. Saat saya datang, acara baru saja dibuka. Pemimpin Redaksi kompasiana Taufik H. Mihardja menyatakan bahwa setelah pemilu pengunjung kompasiana agak menurun. Bisa dimaklumi. Karena banyak orang berkepentingan di masa pemilu. Maka seluruh saluran komunikasi dengan calon pemilih banyak didatangi tim sukses. Tak terkecuali kompasiana. Selain itu, Mas Vik, begitu ia biasa dipanggil, menginformasikan bahwa tampilan kompasiana akan lebih canggih dan interaktif lagi mirip facebook, termasuk dominasi warna biru, pada 22 Oktober mendatang tepat setahun on-line-nya kompasiana di ranah dunia maya di Tanah Air.

Menjelang berbuka, tampil ke atas pentas wartawan kompas.com sekaligus penulis tetap di kompasiana, Jodhi Yudhono, menembangkan beberapa lagu ditemani Arul Lamandau, musisi jalanan penggesek dawai biola. Jodhi juga mengundang Linda Djalil, salah satu wanita yang beruntung dibuatkan puisi oleh penyair agung W.S. Rendra. Pertama-tama, Mbak Linda, begitu panggilan akrab mantan wartawati Majalah TEMPO dan GATRA ini, membaca puisi tentang Ibu karya Unang Muchtar, salah seorang blogger yang aktif menulis di kompasiana. Lalu ia membaca Pamflet Cinta, salah satu puisi W.S. Rendra yang ditulis khusus untuknya yang saat itu masih gadis berusia 18 tahun. “Badan gw masih separonya yang sekarang,” kata Mbak Linda, sebelum membacakan puisi W.S. Rendra itu.

Saat berbuka puasa, dengan teh manis hangat dan kolak pisang, sudah pula tersaji di atas meja hidangan yang enak-enak. Saking enaknya, bahkan ada yang tak hentinya mengisi piring dengan nasi, gurame goreng, karedok, ayam bumbu rujak, dan tahu tempe goreng. Butuh banyak makan, mungkin, lantaran tadi terjebak macet berjam-jam sebelum menuju Dapur Sunda. Toh, makanan yang tersedia lebih dari cukup. Jadi, tak ada masalah buat yang mau berkali-kali tambah.

Buka puasa ini tak melulu memikirkan diri sendiri. Para blogger yang hadir tergerak hati mereka untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah gempa yang berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Jumlah uang yang terkumpul lumayan banyak. Tepatnya, sebesar Rp 1,6 juta ditambah doa keikhlasan dan ketulusan senilai Rp 5 miliar dari seluruh blogger yang berkumpul malam itu. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding sumbangan presiden yang cuma Rp 5 miliar itu.

Yang mengejutkan, selain mendapat Majalah National Geographic Indonesia dan Intisari, sebelum pulang seluruh undangan dapat kejutan satu boks berisi sepuluh roti gambang unyil (karena ukurannya 1/8 ukuran roti gambang normal). Pengirimnya Rosiy Lawati, yang saat ini tinggal di Auckland, Selandia Baru, bersama suaminya yang bernama Les Glover. Ibu berusia 37 tahun itu membantu kakak iparnya yang membuat roti gambang unyil itu.

“Secara tidak langsung kawan-kawan kompasiana sudah membantu karyawan Si Eneng, kakak ipar saya, supaya bisa gajian bulan ini. Bulan lalu kan penjualannya macet karena supply gula arennya oplosan jadi Si Eneng pusing tujuh keliling, deh. Beginilah nasib usaha kecil, harus terus dibantu sehingga bisa mandiri,” kata Ibu Rosiy kepada Iskandar Jet, salah satu pengelola kompasiana.

Duh, jadi terharu. Seorang Ibu asal Indonesia yang sedang tinggal jauh dari Tanah Air melakukan upaya mulia dengan cara yang sangat sederhana. Membantu secara langsung dengan membeli supaya roda ekonomi usaha kecil bisa terus beputar. Seperti kita tahu, bank-bank kita tak melakukan upaya konkret buat membantu rakyat yang kreatif mencari nafkah. Bank-bank kita hanya mau membantu pengusaha-pengusaha kelas kakap yang sering kali ngemplang kredit dan kabur ke luar negeri. Ibu Rosiy bukan saja membantu kakak iparnya, tapi juga menyelematkan nasib para pekerja yang bekerja di usaha roti gambang unyil itu. Apalagi menjelang lebaran seperti saat ini. Ketika kemenangan ujian selama puasa Ramadhan dirayakan dengan makan-makan dan pameran pakaian serba baru di tengah kenaikan harga bahan-bahan pokok yang sangat tajam.

Seribu potong roti gambang unyil yang dibeli Ibu Rosiy dan menjadi oleh-oleh seluruh blogger kompasiana malam itu, ternyata, bisa menyelamatkan usaha kecil seperti yang dilakukan kakak iparnya. Ibu Rosiy, yang menjadi pemberi komentar paling setia blogger senior Prayitno Ramelan di kompasiana maupun facebook, menunjukkan rasa cintanya kepada Indonesia meski saat ini keberadaannya sangat jauh terpisah samudera.

Hati saya terenyuh malam itu karena roti gambang unyil kiriman Ibu Rosiy sebagai oleh-oleh yang dibawa pulang selepas berbuka puasa. Apa yang dilakukan Ibu Rosiy sungguh mulia. Terlebih lagi, dia tidak pernah kenal kita dan kita bahkan sama sekali belum pernah mengenalnya. Tapi, melalui kompasiana, Ibu Rosiy menganggap kita semua saudaranya. Sesuatu yang sebetulnya sangat khas Indonesia: peduli sesama. Tapi sesuatu itu, agaknya, kini sudah menjadi barang langka di antara kita.

AH
15 September 2009