Rabu, 26 November 2008

"Wendo."

(Tulisan ini merupakan kado ulangtahun ke-60 buat Arswendo Atmowiloto pada 26 November 2008 dari salah satu anak didiknya.)


Arswendo Atmowiloto, nama ngetopnya.

Sarwendo, aslinya.

“Wendo.” Itu panggilannya, selain Ndo.

Sesungguhnya, dia lah orang terkaya di Indonesia.

Bukan Oom Liem Sio Liong.

Bukan pula Aburizal Bakrie, menteri yang based on pengusaha itu.

Jika kekayaan Aburizal Bakrie terlacak oleh Majalah Forbes Asia pada medio Desember tahun lalu sebesar 5,4 miliar dollar AS (setara Rp 66,285 triliun dengan kurs Rp 12.275 per 26 November 2008) dan menempatkannya sebagai orang terkaya di Indonesia. Kekayaan yang dimiliki Wendo melampaui angka 12 digit itu.

Kekayaan Wendo tak bisa tertebak. Oleh siapapun. Termasuk oleh BIN, CIA, maupun KGB. Apalagi oleh KPK. Mesin pelacak google yang terbilang canggih saja tak mampu menemukan. Bahkan program software paling mutakhir buatan Bill Gates sekalipun tak akan mampu men-detected kekayaan lelaki asal Solo yang hari ini genap berusia 60 tahun.

Kekayaan Wendo lebih dari sekadar uang, bukan dalam bentuk materi seperti kapal mewah ataupun bangunan properti. Karena kekayaannya bersumber pada kebebasan dan kreativitas. Kekayaannya tersebar di mana-mana dan ke mana-mana. Kekayaannya beranak-pinak di sejumlah ladang bisnis. Sebut saja semua usaha yang ada di Indonesia, dapat dipastikan di situ Wendo punya saham.

Saham-saham Wendo berupa lahirnya orang-orang hebat. Mereka kini berkarya di bidang penerbitan, pertelevisian, keuangan, perhotelan, desain, pemasaran, komunikasi, dan lain-lain. Mungkin, beberapa di antara mereka, kini bekerja di salah satu anak usaha Bosowa Group dan menjadi orang kepercayaan Sri Sultan Hamengkubowo X. Atau, tanpa sepengetahuan kita, mereka bahkan menjadi pejabat penting di pemerintahan dan Istana Negara.

Kebebasan dan kreativitas. Itulah warisan kekayaan yang diinspirasikan Wendo kepada seluruh orang melalui karya-karya yang dilahirkannya dan sejumlah media cetak yang dipimpinnya. Sedikitnya 48 cerita fiksi semacam Senopati Pamungkas, skenario film Pacar Ketinggalan Kereta, dan buku Mengarang itu Gampang telah ia lahirkan, di luar tulisan-tulisan yang dipublikasikan secara bebas dan terserak di sejumlah media cetak, diskusi, seminar, hingga lokakarya yang tak sempat tercatat.

Melalui tangan dingin mesias-nya, Wendo waktu itu membangun imperium bisnis majalah di Kelompok KOMPAS Gramedia (KKG). Ia punya ide brilian menerbitkan majalah dan tabloid dari huruf A sampai Z. Dimulai dengan modal yang sudah ada, yaitu Angkasa, Bobo, Citra, Hai, Intisari, Jakarta-Jakarta, Monitor, Otomotif, dan Senang. Ia ingin menerbitkan lagi majalah dan tabloid berinisial D, E, F, G, K, L, N, P, Q, R, T, U, V, W, X, Y, serta Z.

Saat itu, Wendo menjelma menjadi anak emas. Apalagi tiras Tabloid Monitor – yang punya tagline ”Tabloid Terbesar di Dunia yang Berbahasa Indonesia” itu – mencapai angka sekitar 700.000 per minggu. Pada saat itu, sebagai perbandingan, Harian KOMPAS yang menjadi surat kabar terbesar di Indonesia memiliki tiras sekitar 500.000 per hari. Ia pun bekerja keras untuk menaikkan tiras Monitor hingga menembus angka 1.000.000. Kalau angka itu tercapai, ia bersama anak buahnya akan menggunduli kepala sebagai nazar.

Gaya hidup Wendo pun berubah. Ia bisa punya apa saja. Bisa pakai apa saja. Bisa bergaul dengan siapa saja. Pernah satu kali ia bercerita ada “janji wawancara” dengan salah seorang responden wanita dari kalangan jet-set di presidential suite sebuah hotel berbintang banyak yang di setiap lantainya dijaga bodyguard bertubuh tinggi tegap. Suatu masa ada seseorang yang memuji fine watch Rolex terbarunya sebagai barang bagus, Wendo menolak pujian selangit itu. “Ini bukannya bagus. Rolex ini harganya sangat mahal,” kata Wendo, sembari tertawa cekakak. Wendo, memang, norak!

Dengan posisinya itu, Wendo menjelma menjadi seorang tokoh kontroversial. “Yang disayangi kawan, tapi dibenci lawan”. Oleh sejumlah anak buahnya, ia disayang alang kepalang karena kebaikannya. “Daripada saya kasih uangnya ke Harmoko (Menteri Penerangan RI saat itu yang punya saham di setiap penerbitan di Indonesia tak terkecuali Monitor), mendingan membikin senang anak buah,” kata Wendo, santai. Ia pun memberikan hadiah bulan madu anak buahnya yang baru menikah pergi ke Jepang. “Pura-pura nulis apa aja di sana sebagai laporan.” Untuk sekretarisnya yang mantan atlet bolavoli, Wendo pernah menugaskan meliput SEA Games. Padahal di sana asli Sang Sekretaris cuma pergi dolan-dolan makan angin. Ia pun membelikan kamera tercanggih dan termahal saat itu, Nikon F4, untuk Majalah HAI.

Sayang, karena kecerobohan yang tak terpikirkan, nazar sejuta eksemplar Wendo kandas di tengah jalan. Lantaran sebuah jajak pendapat tentang tokoh-tokoh yang paling populer di Indonesia yang dimuat Monitor memancing kemarahan umat Islam pada tahun 1990.

Singkat cerita, Wendo pun menjalani proses hukum dan dipenjara selama lima tahun. Monitor dibredel, ia pun langsung dipecat dari KKG.

Tapi, buat Presiden Soeharto dan para think tank politiknya, kekeliruan Wendo menjadi kajian yang sangat penting. Kesimpulan utamanya, selain mengetahui masih banyak kelompok Islam di Indonesia yang galak-galak, Pak Harto harus pergi haji supaya disayang sama umat Islam. Tak lama, Pak Harto pun kembali dipilih menjadi presiden.

”Saudara Arswendo itu keliru, dia salah. Kita tak boleh melakukan kekeliruan yang sama karena banyak orang yang menggantungkan hidup dari usaha (penerbitan) kita,” kata Presiden Direktur KKG saat itu, Jakob Oetama, sembari menghisap sebatang rokok kretek dalam-dalam dan membetulkan letak kacamatanya, kepada awak Monitor di lantai tiga Gedung KKG di suatu petang yang gelap. Menurut cerita, kalau Pak Jakob, yang saat itu juga menjabat Pemimpin Redaksi Harian KOMPAS, memanggil seseorang dengan sebutan Saudara itu berarti ia sedang tidak enak hati.

Sejak saat itu, sensorship tulisan dan foto pun diperketat. Bahkan di setiap redaksi majalah dan tabloid KKG yang masih bisa terbit dibuat sistem piket yang wajib membaca dan memeriksa seluruh naskah dan foto agar aman (tidak menyinggung perasaan umat Islam) sebelum naik cetak.

Toh, Wendo tipe seorang lelaki yang bertanggugjawab. Ia berani memikul kesalahannya itu sendirian. Tanpa melibatkan seorang pun anak buahnya. ”Semua ini kesalahan saya. Dan saya yang menanggung akibatnya. Bukan orang lain,” kata Wendo ketika dijenguk sejumlah anak buahnya di tahanan Polda Metro Jaya pada suatu siang yang terang.

Pernah ada tawaran Wendo diminta mengganti namanya supaya bisa tetap bekerja di KKG. Kalau saja ia mau, ia dapat ganti rugi penggantian nama sebesar Rp 200.000.000 atau setara lebih dari 130 ribu dollar AS (saat itu kira-kira 1 dollar AS = Rp 1500).

Wendo tegas-tegas menolaknya. ”Sekarang ini tinggal nama yang saya punya. Saya menolak!” Suara keras Wendo jelas menggebrak. Memecah dan mengakhiri tawaran damai itu.

Mungkin, Wendo tak ingin mengganti nama untuk kedua kali. Atau ia tak mau ikut-ikutan sejumlah orang yang mengganti nama lantaran takut terkena gerakan ”bersih lingkungan” yang berkaitan dengan unsur-unsur bahaya laten komunis di masa Jenderal Try Sutrisno menjadi Panglima ABRI.

Pergantian nama dari Sarwendo ke Arswendo, baginya, sudah cukup.

Apalagi karena nama Arswendo ia pernah menjadi orang terkaya di Indonesia dengan saham kebebasan dan kreativitas yang dimilikinya.

Sekali Wendo, tetap Wendo.

Nama Wendo, menurut tekad kata hatinya, tak bisa disubstitusi dengan uang yang sangat banyak, meski nama itu pernah menjadi nama yang sangat dibenci seperti nama sebuah partai terlarang.

Karena keteguhan sikap dan tanggungjawabnya memikul kesalahan, nama Wendo tetap ada sampai hari ini. Dan sampai kapanpun.

Rasanya, kita semua bisa belajar dari nama itu: ”Wendo.”

(AH, 26 November 2008)

6 komentar:

meru mengatakan...

Ada beberapa nada yang gayanya seperti Pak Wendo, boleh jadi itu salah satu cipratan kekayaannya. Sewaktu membaca saya merasa kembali kejaman masa-masa sekolah dulu. Saat itu beberapa kali saya berkunjung ke palmerah sepulang dari kuliah. Melongok ruang kerja saudara saya. Dia sering bercerita tentang Pak Wendo, tentang kebaikannya sebagai atasan juga kebaikannya sebagai guru.
Hebat... terus berkarya saudaraku.

Jakartasiana mengatakan...

Tuan Meru, terima kasih, ya, selalu memberikan komentar yang memberi semangat.

Sukses selalu pula untuk Tuan Meru.

Kabarnya, Tuan Meru malahan sekarang yang berkantor di Palmerah.

:) AH

Anonim mengatakan...

judulnya: mengenang masa lalu...
kalau mengaku murid, harus lebih hebat dari guru

Piye kabare, Dab?
-dik

Jakartasiana mengatakan...

alow, dik.

kbrku apik tenan.

maunya begitu. tapi belum sampai ke situ.

gw suka tulisan-tulisan elo.

jgn pernah takut dan menyerah, ya.

salam buat keluargamu.

terima kasih dah mampir ke jakartasiana.

dicari mas dhw, tuh.

:) ah

Anonim mengatakan...

apik mas, ayo nulis terus. bung wendo sekarang ngapain ya?

Jakartasiana mengatakan...

Mas Iwan,

Mas Wendo masih sibuk dengan penulisan buku Kamus Solo, juri FFI, dan main sama cucunya.

Terima kasih, ya, sudah mengunjungi jakartasiana.

Sukses selalu, ya!

:) AH