Selasa, 27 Oktober 2015

Blogger Camp 2015: "Nylekamin, Cengis, dan Resolusi Ketenger"

Dunia blogging di Indonesia dapat dipastikan salah satu yang paling heboh di dunia. Saking hebohnya pada tahun 2007 pemerintah menetapkan 27 Oktober sebagai "Hari Blogger Nasional".

Terlalu berlebihankah "Hari Blogger Nasional"? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak.

Jawaban iya berlebihan karena sepertinya blogger di Indonesia jadi warga negara yang sangat diperhatikan dibandingkan dengan misalnya budayawan atau sastrawan atau penulis yang sudah lebih dulu memberi sumbangsih besar bagi peradaban bangsa Indonesia. Sampai hari ini pemerintah belum pernah menetapkan adanya "Hari Budayawan/Sastrawan/Penulis Nasional". Dan kita semua tahu para santri saja - yang ikut berjuang mati-matian dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945 - baru dapat "Hari Santri Nasional" mulai 22 Oktober tahun 2015 ini!

Jawaban penetapan "Hari Blogger Nasional" tidak lah berlebihan karena sepertinya pemerintah mempertimbangkan aspek pembangunan ekonomi dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Faktanya, masyarakat yang ingin nge-blog butuh listrik, jaringan internet, notebook atau smart phone. Karena nge-blog bisnis PLN, provider seperti indosat, dan berbagai produsen notebook atau smart phone bisa tumbuh dan itu semua dapat memutar roda ekonomi negara. Dengan menetapkan "Hari Blogger Nasional" pemerintah juga ingin mendorong masyarakat untuk suka membaca dan terbiasa menulis. Masyarakat makin cerdas dan pintar. Kita semua tahu banyak buku-buku best seller yang lahir sebelumnya dari tulisan-tulisan di blog-blog pribadi.

Fenomena nge-blog dan blogger tumbuh membesar di Indonesia delapan tahun belakangan ini. Media-media on-line nasional tak mau ketinggalan menyediakan kanal khusus blogger, blog untuk para pembacanya. Misalnya detikcom punya blogdetik, tempodotco dengan politikana, dan kompasdotcom memunculkan kompasiana.

Lalu pada perkembangannya blog-blog muncul sesuai kebutuhan. Ada blogger yang khusus membahas keluarga, gaya hidup, jalan-jalan/plesir, kuliner, dan sepertinya yang "hanya terjadi di Indonesia" ada blogger urusan pilkada dan pilpres terutama makin seru dengan munculnya fenomena "Jokowi-effect" pada Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu.

Kini, persoalan muncul apakah semua content yang ditulis dalam blog itu "credible", dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan?

Persoalan kredibiltas blog ini lah yang dibahas dalam kegiatan "Blogger Camp Indonesia 2015" yang berlangsung di empat kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Purwokerto, Surabaya, dan Makassar, 26-27 Oktober ini sebagai salah satu acara penting mengisi "Hari Blogger Nasional" tahun 2015.

Dibanding tiga kota lainnya, Kota Purwokerto jadi tempat penyelenggaraan paling seru dan beragam. Peserta yang datang bukan dari Purwokerto saja. Mereka - ada 25 orang - datang dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Bekasi, Serang, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Wonosobo, dan Pekalongan. Pesertanya ada yang masih pelajar SMA, mahasiswa, karyawan, wartawan, dosen, dan aktivis buruh migran.

"Senang sekali Purwokerto jadi tuan rumah Blogger Camp Indonesia 2015. Baru sekali ini Purwokerto jadi tempat kegiatan blogger tingkat nasional," ungkap Pungky Prasetyo, ketua panitia Blogger Camp Purwokerto, saat menyambut para peserta pada Senin (26/10) sore yang sedikit gerimis dan mulai berkabut di Wisma Putih, PLTA Ketenger, Purwokerto, di ketinggian 640 dpl.

Tiga pembicara yang hadir di Purwokerto adalah Pradna Paramita, Mira Sahid, dan Noviana Eva. Pradna membahas betapa dahsyatnya gerakan desa internet di Purwokerto (Jawa Tengah), Ciamis (Jawa Barat), dan Pidie (Nanggroe Aceh Darussalam). Desa-desa tersebut bahkan sudah menerapkan teknologi teleconference dan memanfaatkan link YouTube untuk rapat-rapat desa! Mira memberikan pengalamannya bagaimana mengelola blog sehingga dapat menghasilkan uang dan jadi pekerjaan yang mengasyikkan. Sementara Eva berbagi ilmu tentang "content and marketing".

Selain acaranya asyik, seru, dan akrab, yang menarik di Blogger Camp Purwokerto yang disponsori "Indosat Love" ini adalah inisiatif para peserta untuk memajukan dunia blogger di Indonesia. Mereka membuat catatan penting yang diberi nama "Resolusi Ketenger". Ada tujuh catatan yang tertuang dalam "Resolusi Ketenger". Yang paling utama adalah menuntut pemerintah untuk segera membangun infrastuktur yang mendukung industri telekomunikasi sehingga jaringan internet super cepat merata di seluruh pelosok Tanah Air.

Ide "Resolusi Ketenger" yang terdengar heroik dan mengandung unsur bela negara itu tercetus penuh semangat oleh para peserta setelah mereka menikmati kuliner khas Purwokerto, Soto Sroto Sokaraja yang "nylekamin" (enak banget) pada saat welcome party semalam, dan sarapan pecel khas Banyumas dengan ndog puyuh serta mendoan yang dimakan bareng "cengis" (cabe rawit yang pedas sekali). Pokoke, Blogger Camp Purwokerto - yang disponsori "Indosat Love" - maen mbanget! (*)

Abi Hasantoso
Wisma Ketenget, Purwokerto
27 Oktober 2015
12:30 WIB

#bloggercampid #lovekonten #pwr #purwokerto #nylekamin #cengis #pokoke #maen #mbanget #indosatlove #haribloggernasional 

Rabu, 30 Desember 2009

Presiden Abdurrahman Wahid dan Surat 18.45

Hujan mengguyur Jakarta pada Rabu (30/12) sore. Lumayan deras. Di dalam sebuah gedung bertingkat di lantai 12 tak terdengar suara menggelegar petir dan halilintar yang menyambar.

Menjelang Maghrib hujan sudah mulai reda. Tapi justru sebuah ”petir” berita yang mengagetkan kita semua saat kita mendengar berita wafatnya Presiden Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, yang dikabarkan berpulang ke rumah Tuhan pada pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, pada usia 69 tahun 114 hari. Gus Dur meninggalkan istrinya, Shinta Nuriyah, empat anak perempuan yang disayanginya, dan lebih dari 231 juta rakyat Indonesia.

Kita sebagai bangsa, tentu, sangat sangat sangat berduka.

Karena Gus Dur – kelahiran Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – adalah salah satu tokoh penggerak demokrasi di Indonesia. Ia yang gigih memperjuangkan kesamaan dan kesetaraan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Ia pendukung setia keberagaman. Ia selalu berada di baris terdepan melawan kezaliman.

Ia muslim yang melintasi seluruh agama. Ia mengayomi penganut agama-agama lain, meski dirinya seorang kyai dan keturunan darah biru pendiri organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Saya salah satu pengagumnya, dari dulu sampai kapan pun. Apalagi ketika dia jadi presiden. Bayangkan, ”seorang anak pesantren”, bukan tentara, bukan lulusan Harvard University, berhasil menjadi presiden.

Langkah-langkahnya, di luar urusan pergi melanglang buana ke sejumlah negara, saat menjadi presiden sungguh jelas. Ia memisahkan polisi dari tentara. Ia mempelopori pembentukan KPK. Ia melikuidasi Departemen Penerangan, dan yang paling dahsyat ia meminta Golongan Karya (Golkar) dibubarkan saja! Ia memperteguh langkah menuju jalan demokrasi bagi Indonesia: kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang.

Hebatnya, di dunia internasional, Gus Dur menggebrak dengan ide membentuk poros baru New Delhi – Jakarta – Tokyo – Beijing. Yang membuat Presiden AS Bill Clinton mau tidak mau menerima kehadiran Gus Dur di Gedung Putih, meski sebelumnya sama sekali tak ada jadwal keduanya untuk bertemu. Mungkin, karena ide besarnya itulah, Gus Dur harus dijatuhkan. Karena Gus Dur tak mau disetir Amerika a.k.a. Neolib.

Di sebuah lapangan terbuka dekat Monas, bersama sekumpulan massa pendukungnya, saya sempat mengantar Gus Dur keluar Istana Negara menuju Amerika Serikat untuk berobat (sebuah alasan yang dicari-cari supaya Gus Dur bisa meninggalkan Istana secara elegan), tak lama setelah dijatuhkan oleh keputusan Sidang Istimewa MPR RI pada 23 Juli 2001. Bersama sejumlah teman, saya menangis pada hari itu. Menyaksikan ketegaran Gus Dur ”dikeroyok” dan ”dipukuli” sampai ”mati” oleh lawan-lawan politiknya. Tanpa memberikan perlawanan, selain dengan lambaian tangannya dengan pakaian tidur – bercelana kolor – di luar serambi Istana.

Sebetulnya, Gus Dur bisa saja melawan. Karena Pasukan Berani Mati dari berbagai daerah, terutama dari Jawa Timur, siap membelanya sampai titik darah penghabisan. Tapi, Gus Dur bukan lah seorang yang gila kekuasaan. Seperti Bung Karno, ia tak ingin terjadi pertumpahan darah. Ia lebih baik memilih jalan damai, ahimsa, jalan damai anti-kekerasan yang diajarkan Mahatma Gandhi, salah satu tokoh dunia yang dikaguminya.

Lebih dari itu, Gus Dur lah yang kembali memulai mempopulerkan batik sebelum kita heboh setahun ini soal memakai baju batik secara massal pada 2 Oktober lalu. Hampir tiap hari Gus Dur – dan anggota kabinet – berbatik di Istana. Termasuk saat menerima tamu-tamu negara: presiden, perdana menteri, hingga raja dan ratu. Beberapa motif batik sempat identik dengan Gus Dur. Kalau kita ke butik atau toko batik, juga Pasar Beringhardjo Yogya, sering kali kita ditanya dan ditawarkan apa sedang mencari motif batik Gus Dur.

Lebih daripada itu, Gus Dur lah yang membuka pintu bagi perayaan imlek, sehingga tiap tahun sekarang kita akrab dengan atraksi barongsay. Gus Dur lah yang menjadikan Kong Hu Cu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, menyusul Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Ia begitu dikagumi masyarakat Tiongha. Terlebih lagi saat Gus Dur menyatakan bahwa ia punya darah China dari salah satu buyutnya.

Gus Dur fasih berbagai bahasa. Termasuk bahasa Al Quran. Dan dia juga mempelajari Al Quran secara mendalam. Gus Dur mempunyai beberapa surah dalam Al Quran yang menjadi amalannya sehari-hari. Salah satu surah favoritnya adalah Al Kahfi.

Entah kebetulan entah tidak jam wafatnya Gus Dur adalah 18.45 WIB. Subhanallah, Al Kahfi itu surat ke-18 di dalam Al Quran. Surat Al Kahfi yang berarti goa ini terdiri dari 110 ayat. Terjemahan Ayat 45 Al Kahfi berarti: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia) bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.”

Gus Dur pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya ketika "air hujan yang turun dari langit" mulai reda. Ia bagai "tumbuhan yang mengering". Ia bakal "diterbangkan oleh angin". Karena kekuasaan-Nya, kini, Gus Dur menuju “goa” - rumah - Tuhan yang abadi. Yang damai di surga nun di sana....

Ada lagi kebetulan pada jam wafatnya Gus Dur. Dalam mitologi China yang suka mengotak-atik angka, angka 18.45 adalah angka sempurna. 1 + 8 = 9. Juga 4 + 5 = 9. Jika digabung angka 99 adalah angka ganjil yang juga menjadi simbol kesempurnaan umat Islam. Banyak amalan-amalan bacaan doa-doa yang diucapkan berbilang 9 dan 99. Bahkan 99 adalah nama-nama indah Tuhan yang biasa disebut asmaul husna.

Kita yakin, Gus Dur berpulang ke rumah Tuhan dalam keadaan penuh kesempurnaan setelah menunaikan tugasnya sebagai pemimpin yang rahmatan lil alamin, yang memberi rahmat bagi semua umat manusia, khususnya di Tanah Air kita.

Kita patut menangis dan berduka atas kepergian Gus Dur yang sempat bernama Presiden Abdurrahman Wahid.

Ia orang besar. Dengan gagasan-gagasan besar yang disampaikan dengan guyonan khas ”Gitu aja, kok, repot...!” untuk bangsa dan negara kita Indonesia.

Selamat jalan Presiden Abdurrahman Wahid....

Kami pasti selalu merindukan sosokmu yang selalu tampil sederhana bersahaja polos ceplas-ceplos dengan sepatu sandal di tengah Indonesia masa kini yang setiap hari makin hiruk pikuk dengan urusan pencitraan pribadi yang penuh sapuan kosmetik artifisial, korupsi yang semakin menggurita, dan bantah membantah fitnah.... (*)


AH
30 Desember 2009
20:30 WIB

Jumat, 23 Oktober 2009

LIGA MEDCO 2009 - Arifin Panigoro: "Kita Harus Terus Mencari Pesepakbola Berbakat"

Liga Medco, ajang pencarian pesepakbola nasional usia muda di bawah 15 tahun yang diselenggarakan PSSI dan Medco Foundation, memasuki tahun keempat sejak pertama kali bergulir pada 2006 lalu. Tahun 2009 ini Liga Medco diikuti 24 tim yang akan berkompetisi di 11 kota. Siapa juara Liga Medco 2009, menyusul sukses Maluku, DKI Jakarta, dan Jawa Timur?


Jakarta, 23 Oktober 2009 - Liga Medco kembali bergulir. Tahun ini memasuki penyelenggaraan tahun keempat. Sejak digulirkan pada tahun 2006, kompetisi sepakbola nasional untuk anak-anak di bawah usia 15 tahun ini, menjadi ajang pencarian bakat pesepakbola nasional berusia muda. Selama tiga musim kompetisi terakhir, tak kurang dari 1500 pesepakbola berbakat dari seluruh Indonesia sudah merasakan manfaat Liga Medco sebagai wadah untuk dapat tampil di tingkat nasional.

”Sepakbola kita harus kembali berjaya di Asia. Kita memerlukan pesepakbola berbakat untuk memenuhi kebutuhan tim nasional kita. Satu-satunya jalan adalah kita harus terus mencari pesepakbola berbakat dari seluruh Tanah Air,” papar Arifin Panigoro, pendiri kelompok usaha Medco.

Arifin Panigoro, yang bersama almarhum Ronny Pattinasarany menggagas penyelenggaraan Liga Medco ini, yakin sepakbola Indonesia dapat bangkit kembali mengejar ketertinggalannya. Kuncinya ada di pembinaan usia dini. ”Masa depan sepakbola kita, yang kita harapkan kembali berjaya, ada di anak-anak usia 15 tahun ini. Kita harus memberikan kesempatan kepada mereka untuk tampil di kompetisi tingkat nasional. Dari sini mereka akan melewati tahapan-tahapan penting pembentukan diri sebagai pemain nasional di jenjang usia 17, usia 19, dan usia 21, sebelum masuk skuad timnas senior,” jelas Arifin Panigoro.

Babak penyisihan Liga Medco 2009 secara resmi mulai bergulir pada Minggu (25/10) hingga Kamis (29/10) di enam kota. Tahun ini kompetisi diikuti 24 tim yang terbagi dalam 6 grup. Grup I terdiri dari Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi; Grup II berisi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau; Grup III diikuti Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta. Grup IV terdiri dari Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, NTB; Grup V berisi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara; dan Grup VI diikuti Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat.

Juara dan runner-up di babak penyisihan berhak melaju ke babak 12 besar yang akan terbagi dalam 4 grup. Babak 12 besar, rencananya, bergulir pada 23 – 30 November mendatang. Memasuki putaran final, hanya 4 tim terbaik yang merupakan juara masing-masing grup di babak 12 besar saja yang akan berlaga di Jakarta pada 4 – 6 Desember 2009.

Uniknya, setiap tahunnya Liga Medco selalu melahirkan tim juara yang ditentukan melalui tendangan penalti. Pada penyelenggaran tahun 2006, Maluku menjadi juara setelah mengalahkan DKI Jakarta melalui drama adu penalti. Tahun 2007 giliran DKI Jakarta juara setelah menang adu penalti juga atas Jawa Timur. Dan tahun 2008 lalu, Jawa Timur lah yang menjadi juara melalui satu gol dari titik penalti.

Selama tiga kali penyelenggaraan Liga Medco (2006 – 2008), yang didukung penuh Medco Foundation, banyak pesepakbola berbakat terjaring dan berhasil masuk skuad tim nasional sepakbola Indonesia U-15 dan U-16. Bahkan tim nasional Indonesia U-19 saat ini, yang melakukan pemusatan latihan nasional selama dua tahun di Uruguay, hampir seluruhnya diisi pemain-pemain yang berasal dari Liga Medco tahun 2006 dan 2007. Tim U-19 ini rencananya akan berlaga di Kejuaraan Asia AFC U-19 di Bandung, 7 – 13 November yang akan datang.

”Kami berharap para pemain terbaik dari Liga Medco 2009 ini dapat pula menjadi para pemain inti timnas U-16 kita yang akan berlaga di Kejuaraan Asia AFC U-16 di Manila, Filipina, tahun 2010. Karena kami ingin Liga Medco menjadi bagian integral yang dapat membantu pembinaan dan program kerja PSSI dalam mencari pemain berbakat di seluruh Indonesia,” papar Direktur Operasional Medco Foundation Roni Pramaditia.

Seperti diketahui, pada 16 Januari lalu, PSSI dan Medco Foundation sudah melakukan penandatanganan perpanjangan kerjasama untuk melanjutkan kompetisi Liga Medco selama tiga tahun hingga tahun 2011.

Kompetisi Liga Medco 2009 akan dipantau PSSI dan BTN. Tahun ini akan menurunkan tim pemandu bakat yang terdiri dari mantan pemain nasional, antara lain Risdianto, Bambang Nurdiansyah, Zulkarnaen Lubis, dan Max Pieter. (*)

Selasa, 15 September 2009

Roti Gambang Unyil Kiriman Ibu Rosiy

Seminggu menjelang lebaran menjadi hari-hari “terberat”. Lantaran banyaknya undangan berbuka puasa dari mana-mana. Bayangkan, dalam satu hari bisa ada dua sampai tiga undangan berbuka puasa. Padahal waktu berbuka puasa itu terjadi sekali: pada saat berkumandangnya adzan sholat Maghrib. Tak mungkin kan kita datang memenuhi undangan berbuka puasa di beberapa tempat yang berbeda pada saat yang sama.

Akhirnya, dengan “berberat” hati, kita terpaksa hanya memilih satu undangan dan membatalkan dua tiga undangan lainnya dengan cara mencari-cari alasan yang tepat supaya pengundang tidak tersinggung. Selain itu, menjadi “berat” lantaran perjalanan menuju tempat berbuka puasa, biasanya di restoran atau pusat perbelanjaan, di mana-mana dipenuhi kendaraan yang memadati jalan-jalan. Alias macet di mana-mana. Tambah “berat” lagi sebab cuaca di Jakarta belakangan ini lagi panas-panasnya, bisa mencapai 41 derajat celcius.

Senin (14/9) sore kemarin, kompasiana mengundang blogger-bloggernya berbuka puasa bersama. Tak kurang dari 100 orang diundang, dan lebih dari 80% undangan menyatakan akan hadir. Mengantisipasi hal-hal yang “berat” tadi, sejumlah blogger datang sangat awal. Ada yang tiba pukul 4 sore di tempat acara berbuka, Restoran Dapur Sunda yang terletak di kawasan Cipete Raya, Jakarta Selatan.

Saya datang ke acara buka bersama kompasiana dengan membatalkan salah satu undangan berbuka puasa lainnya. Kebetulan yang mengundang kakak ipar. Jadi, dia bisa maklum. Karena kumpul-kumpul dengan blogger kompasiana tak bisa setiap minggu, apalagi setiap hari. Saat saya datang, acara baru saja dibuka. Pemimpin Redaksi kompasiana Taufik H. Mihardja menyatakan bahwa setelah pemilu pengunjung kompasiana agak menurun. Bisa dimaklumi. Karena banyak orang berkepentingan di masa pemilu. Maka seluruh saluran komunikasi dengan calon pemilih banyak didatangi tim sukses. Tak terkecuali kompasiana. Selain itu, Mas Vik, begitu ia biasa dipanggil, menginformasikan bahwa tampilan kompasiana akan lebih canggih dan interaktif lagi mirip facebook, termasuk dominasi warna biru, pada 22 Oktober mendatang tepat setahun on-line-nya kompasiana di ranah dunia maya di Tanah Air.

Menjelang berbuka, tampil ke atas pentas wartawan kompas.com sekaligus penulis tetap di kompasiana, Jodhi Yudhono, menembangkan beberapa lagu ditemani Arul Lamandau, musisi jalanan penggesek dawai biola. Jodhi juga mengundang Linda Djalil, salah satu wanita yang beruntung dibuatkan puisi oleh penyair agung W.S. Rendra. Pertama-tama, Mbak Linda, begitu panggilan akrab mantan wartawati Majalah TEMPO dan GATRA ini, membaca puisi tentang Ibu karya Unang Muchtar, salah seorang blogger yang aktif menulis di kompasiana. Lalu ia membaca Pamflet Cinta, salah satu puisi W.S. Rendra yang ditulis khusus untuknya yang saat itu masih gadis berusia 18 tahun. “Badan gw masih separonya yang sekarang,” kata Mbak Linda, sebelum membacakan puisi W.S. Rendra itu.

Saat berbuka puasa, dengan teh manis hangat dan kolak pisang, sudah pula tersaji di atas meja hidangan yang enak-enak. Saking enaknya, bahkan ada yang tak hentinya mengisi piring dengan nasi, gurame goreng, karedok, ayam bumbu rujak, dan tahu tempe goreng. Butuh banyak makan, mungkin, lantaran tadi terjebak macet berjam-jam sebelum menuju Dapur Sunda. Toh, makanan yang tersedia lebih dari cukup. Jadi, tak ada masalah buat yang mau berkali-kali tambah.

Buka puasa ini tak melulu memikirkan diri sendiri. Para blogger yang hadir tergerak hati mereka untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah gempa yang berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Jumlah uang yang terkumpul lumayan banyak. Tepatnya, sebesar Rp 1,6 juta ditambah doa keikhlasan dan ketulusan senilai Rp 5 miliar dari seluruh blogger yang berkumpul malam itu. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding sumbangan presiden yang cuma Rp 5 miliar itu.

Yang mengejutkan, selain mendapat Majalah National Geographic Indonesia dan Intisari, sebelum pulang seluruh undangan dapat kejutan satu boks berisi sepuluh roti gambang unyil (karena ukurannya 1/8 ukuran roti gambang normal). Pengirimnya Rosiy Lawati, yang saat ini tinggal di Auckland, Selandia Baru, bersama suaminya yang bernama Les Glover. Ibu berusia 37 tahun itu membantu kakak iparnya yang membuat roti gambang unyil itu.

“Secara tidak langsung kawan-kawan kompasiana sudah membantu karyawan Si Eneng, kakak ipar saya, supaya bisa gajian bulan ini. Bulan lalu kan penjualannya macet karena supply gula arennya oplosan jadi Si Eneng pusing tujuh keliling, deh. Beginilah nasib usaha kecil, harus terus dibantu sehingga bisa mandiri,” kata Ibu Rosiy kepada Iskandar Jet, salah satu pengelola kompasiana.

Duh, jadi terharu. Seorang Ibu asal Indonesia yang sedang tinggal jauh dari Tanah Air melakukan upaya mulia dengan cara yang sangat sederhana. Membantu secara langsung dengan membeli supaya roda ekonomi usaha kecil bisa terus beputar. Seperti kita tahu, bank-bank kita tak melakukan upaya konkret buat membantu rakyat yang kreatif mencari nafkah. Bank-bank kita hanya mau membantu pengusaha-pengusaha kelas kakap yang sering kali ngemplang kredit dan kabur ke luar negeri. Ibu Rosiy bukan saja membantu kakak iparnya, tapi juga menyelematkan nasib para pekerja yang bekerja di usaha roti gambang unyil itu. Apalagi menjelang lebaran seperti saat ini. Ketika kemenangan ujian selama puasa Ramadhan dirayakan dengan makan-makan dan pameran pakaian serba baru di tengah kenaikan harga bahan-bahan pokok yang sangat tajam.

Seribu potong roti gambang unyil yang dibeli Ibu Rosiy dan menjadi oleh-oleh seluruh blogger kompasiana malam itu, ternyata, bisa menyelamatkan usaha kecil seperti yang dilakukan kakak iparnya. Ibu Rosiy, yang menjadi pemberi komentar paling setia blogger senior Prayitno Ramelan di kompasiana maupun facebook, menunjukkan rasa cintanya kepada Indonesia meski saat ini keberadaannya sangat jauh terpisah samudera.

Hati saya terenyuh malam itu karena roti gambang unyil kiriman Ibu Rosiy sebagai oleh-oleh yang dibawa pulang selepas berbuka puasa. Apa yang dilakukan Ibu Rosiy sungguh mulia. Terlebih lagi, dia tidak pernah kenal kita dan kita bahkan sama sekali belum pernah mengenalnya. Tapi, melalui kompasiana, Ibu Rosiy menganggap kita semua saudaranya. Sesuatu yang sebetulnya sangat khas Indonesia: peduli sesama. Tapi sesuatu itu, agaknya, kini sudah menjadi barang langka di antara kita.

AH
15 September 2009

Senin, 24 Agustus 2009

Malaysia Boleh, Selama Indonesia Tak Punya Harga Diri

Di akhir tahun 90-an, pemerintah Malaysia mencanangkan program Malaysia Boleh. Kata boleh di sini berarti hebat alias top sekali. Sejumlah pencapaian prestisius dicanangkan. Antara lain berdirinya beberapa bangunan fisik yang dijadikan landmark negeri jiran itu, seperti Menara Kembar Petronas, Kuala Lumpur International Airport, dan Sirkuit Internasional Sepang.

Bukan cuma bangunan-bangunan fisik itu saja yang masuk dalam program Malaysia Boleh. Diam-diam pemerintah Malaysia pada saat itu ingin menaklukkan puncak tertinggi di dunia, Mount Everest. Sebuah tim khusus dibentuk pemerintah Malaysia untuk pendakian ke atap tertinggi di dunia itu. Tim ini pun dipersiapkan secara serius dalam jangka waktu lama di Rusia. Tentunya, “proyek rahasia ini” menghabiskan pula biaya yang sangat besar. Lantaran tim ini memperkerjakan ahli-ahli terbaik dari Negeri Beruang Merah itu. Tugas tim ini hanya satu: menancapkan bendera Malaysia di puncak tertinggi di bumi ini!

Rencana prestisius Malaysia Boleh ke Mount Everest, rupanya, sampai ke telinga Komandan Kopassus (waktu itu) Mayjen TNI Prabowo Subianto. Salah seorang mantu Presiden Soeharto ini lalu mempersiapkan tim yang sama dengan waktu yang sesingkat-singkatnya (karena memang mempunyai keterbatasan waktu dan dana) yang dilatih di Pusdiklat Kopassus. Targetnya cuma satu: Tim Pendaki Gunung Indonesia harus mendahului tim Malaysia Boleh mencapai puncak Mount Everest.

Singkat kata, meski dengan pengorbanan yang sangat besar yang dialami dua orang pendakinya, Tim Indonesia sukses mengibarkan bendera Merah-Putih lebih dulu di puncak tertinggi di dunia itu. Selangkah lebih maju, mendahului tim Malaysia Boleh. Dengan kata lain, Malaysia boleh-boleh saja punya rencana ke Mount Everest, tapi faktanya Indonesia lah yang pertama tiba di sana. Tim Malaysia Boleh bisa dibilang gagal hebat, dan hanya bisa menggigit jari.... Panglima ABRI (waktu itu) Faisal Tanjung didampingi Prabowo langsung datang dengan helikopter memberikan ucapan selamat kepada Tim Pendaki Indonesia yang sukses “melibas” tim Malaysia Boleh di Mount Everest.

Kalau boleh menduga-duga apa yang ada di benak Prabowo saat itu, agaknya, dia tak mau Indonesia disaingi oleh sebuah negeri sangat kecil yang luasnya cuma sepersekian persen dari Pulau Kalimantan kita yang mahaluas itu untuk menjadi yang pertama meraih puncak Mount Everest. Bagi Prabowo, Mount Everest adalah simbol tertinggi dunia. Dan bangsa Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di Asia harus tiba di sana lebih dulu, tak boleh didahului oleh tetangganya.

Tapi tak lama, gerakan reformasi merontokkan kekuasan Pak Harto. Karena dianggap sebagai bagian Keluarga Cendana, Prabowo pun terkena getahnya. Lebih parah dari itu, akibat gerakan reformasi yang tak jelas arahnya itu, bangsa Indonesia kian terpuruk. Keterpurukan itu pun masih terasa sampai saat ini.

Indonesia, kini, terbalik-balik jungkir balik. Menjadi negara yang limbung, bingung, linglung. Lupa akan kebesarannya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai simbol negara sampai lupa dinyanyikan di sebuah acara kenegaraan.

Sekarang, terutama delapan tahun terakhir ini, giliran Malaysia yang unjuk kebolehan. Negeri jiran itu “mempermainkan” Indonesia dengan cara “merampas” sebagian warisan khas asli milik Ibu Pertiwi. Dua tahun belakangan ini, bahkan Malaysia selalu cari gara-gara. Mulai dari klaim atas lagu Rasa Sayange, motif batik, Reog Ponorogo (memang ada daerah di Malaysia yang bernama sama Ponorogo?), angklung, dan kini yang paling mutakhir klaim atas Tari Pendet yang jelas-jelas itu dari Bali (memang ada Bali juga di Malaysia?). Dan yang paling menyakitkan sebetulnya adalah penghancuran Indonesia sehancur-hancurnya yang dilakukan secara terang-terangan oleh seorang teroris asal Malaysia bernama Noordin M. Top yang sampai saat ini tidak bisa kita tangkap, dalam keadaan hidup-hidup ataupun mati.

Sampai kapan Indonesia akan terus “dipermainkan” Malaysia? Dan juga negara-negara lainnya?

Jawabannya adalah selama Indonesia tak punya harga diri sebagai sebuah bangsa yang besar.

Sayang, Prabowo bukan presiden kita. Dan Tuhan hanya sekali mengirim Soekarno, seorang presiden berdarah campuran Jawa Timur - Bali yang berani berkata, “Ganyang Malaysia!”

AH
24 Agustus 2009

Senin, 10 Agustus 2009

Driving Skills For Life - Ford Motor Indonesia: Mengemudi Secara Pintar untuk Menurunkan Tingkat Kecelakaan di Jalan

“Waktu kita habis di jalan. Otomatis resiko hidup kita ada di jalan juga. Meski kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di jalan, tapi kita bisa menghindari atau meminimalkan resiko kecelakaan yang mungkin terjadi kalau saja kita tahu caranya.”

Setiap harinya di Jakarta tak kurang dari 7.000.000 mobil berlalu lalang di jalan-jalan ibukota. Mulai yang bergerak sangat cepat di jalan-jalan raya, sampai yang bergerak perlahan di gang-gang sempit. Membludaknya jumlah kendaraan yang mondar-mandir di jalanan Jakarta itu mudah saja dipahami lantaran setiap bulannya rata-rata 10.000 mobil baru terjual dari show room. Selain itu, lalu lintas di Jakarta semakin padat saja karena jalan-jalan di ibukota juga berkurang lantaran sudah diambil menjadi perlintasan khusus busway. Macet di mana-mana jadi pemandangan kita sehari-hari. Dan lebih fatal dari itu, kecelakaan sering terjadi.

Menurut data Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2003, di Indonesia terjadi lebih dari 24.500.000 kecelakaan. Jumlah total kecelakaan itu disumbang oleh kecelakaan mobil sebesar 16%, 73% oleh kecelakaan motor, dan sisanya kecelakaan oleh moda transportasi lainnya. Pada hasil survei enam tahun lalu itu, ADB pun mencatat 1.000.000 orang mengalami luka-luka dan 30.000 di antaranya meninggal dunia.

Maka, tak salah kalau World Health Organization (WHO), salah satu badan kesehatan dunia milik PBB, memprediksi bahwa pada tahun 2020 kecelakaan di jalan menempati peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian manusia. Padahal pada tahun 1998 WHO masih menempatkan kecelakaan di jalan di peringkat kesembilan. Telah terjadi lonjakan yang sangat signifikan, kenaikan drastis sebanyak enam tingkat, dalam kurun waktu 22 tahun. Itu artinya, kecelakaan lalu lintas menjadi masalah yang sangat serius yang harus mendapat perhatian kita bersama.

Kepedulian mengenai tingginya angka kecelakaan itu menjadi salah satu program utama Corporate Social Responsibility (CSR) PT Ford Mobil Indonesia (FMI) sejak tahun 2008 lalu dengan menggelar kegiatan Driving Skills For Live (DSFL) yang terbuka untuk masyarakat luas. Menurut Marketing Director FMI Davy Tuilan latar belakang penyelenggaraan DSFL karena Ford Motor Company (FMC), induk FMI dan Ford Motor di negara-negara lainnya di dunia, merasa bertanggungjawab kepada konsumennya. “Program DSFL ini diselenggarakan untuk meyakinkan masyarakat bagaimana produk mobil yang dihasilkan FMC tidak berdampak negatif terhadap kehidupan. Justru melalui DSFL ini kami ingin bergerak bersama masyarakat untuk bersama-sama menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas di jalan,” papar Davy ketika membuka program DSFL angkatan kesembilan yang berlangsung sehari penuh pada Sabtu (8/8) barusan di Pusdiklat Multifungsi Polri di Cikeas, dekat kawasan Cibubur, timur Jakarta.

Program DSFL dirancang bersama Asia Injury Prevention (AIP) Foundation, yang menjadi anggota United Nations Road Safety Collaboration (UNRSC), khusus untuk negara-negara di Asia, terutama di negara-negara ASEAN. Program DSFL ini gencar dilakukan di Asia, masih menurut Davy, karena saat ini Asia merupakan pasar potensial yang sangat berkembang. Setahun terakhir ini pasar Asia sudah melebihi pasar Amerika. Seperti kita ketahui, akibat resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat, setahun terakhir ini penjualan mobil di sana anjlok drastis dari 16.000.000 unit menjadi 10.000.000 unit. Sementara di China, untuk kurun waktu yang sama, penjualan mobil meningkat tajam, dari 7.000.000 unit menjadi 11.000.000 unit.

Melalui program DSFL ini, FMI ingin mengajak masyarakat mengubah mind-set cara berkendara. “Dengan program DSFL ini kami ingin berbagi pengetahuan bagaimana mengemudi secara cerdas yang dapat menjaga keselamatan kita dan menghemat bahan bakar,” tambah Davy.

Di Indonesia FMI mempercayakan pelaksanaan DSFL kepada Indonesia Defensive Driving Center (IDDC). Pelatihan sehari DSFL dibagi dalam dua sesi, kelas pada pagi hari dan praktek langsung di jalan setelah makan siang. Kegiatan di kelas berlangsung selama tiga jam, dan praktek berkendara sekitar empat jam.

Selama di kelas, peserta diajak memahami apa itu smart driving, mengemudi secara pintar. Smart driving terdiri dari tiga unsur, yaitu defensive driving, safety driving, dan eco-driving.

Defensive driving merupakan dasar utama yang harus kita miliki saat mengemudi. Menyangkut sikap, perilaku, dan mental kita saat berkendara. Terutama mengendalikan emosi diri. “Prinsip defensive driving adalah yang waras, yang ngalah. Kita harus terbiasa menginstropeksi diri saat berkendara. Sikap ini memang sangat sulit karena di jalan sering kali emosi kita gampang meledak-ledak,” jelas Dodi Budiono, instruktur IDDC yang memberikan materi pelajaran di kelas.

Sementara safety driving lebih pada ketrampilan dan teknik berkendara yang harus dimiliki. Ada sepuluh hal yang harus diperhatikan untuk safety driving ini: 1. Penggunaan safety belt, 2. Pengaturan kaca spion, 3. Sikap mawas diri, 4. Menghindari gangguan di dalam maupun di luar mobil, 5. Menjaga jarak aman, 6. Pengoperasian gigi transmisi, 7. Mempergunakan momentum kendaraan, 8. Mematikan mesin kendaraan, 9. Pemeriksaan awal kendaraan, dan 10. Beban berat pada kendaraan yang akan mempengaruhi konsumsi BBM.

Sedangkan eco-driving itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menghemat bahan bakar dan menjaga keasrian lingkungan, terutama untuk mencegah polusi yang lebih tinggi.

Sesi yang paling seru, tentu saja, adalah praktek lapangan. Peserta dipandu langsung Bintarto Agung, juga instruktur berpengalaman dari IDDC. Peserta yang berjumlah 64 orang dibagi dalam delapan grup, masing-masing delapan orang, yang menjajal delapan mobil terbaru keluaran Ford. Terdiri dari Ford Everest, Ford Ranger, Ford Escape, dan Ford Focus. Seluruh mobil bertransmisi otomatis, hanya satu yang manual untuk Ford Ranger.

Peserta diajarkan bagaimana bermanuver slalom, melakukan pengereman mendadak di medan yang basah dan licin dengan sistem pengereman non-ABS dan ABS, serta menghadapi situasi mengerem secara mendadak dan melakukan manuver ke kanan atau ke kiri sesuai lampu yang menyala (lampu hijau mobil di belokkan ke kanan dan lampu merah mobil dibelokkan ke kiri).

Di tengah kegiatan praktek lapangan, tiba-tiba Presiden Direktur FMI Will Angove ikutan mencoba. Spontan para peserta merasa terkejut karena tidak menyangka orang nomor satu di FMI ini nekat terjun langsung. Apalagi, ia mencoba bagaimana mengatasi kendaraan yang mengerem mendadak dengan sistem pengereman non-ABS. Ia berhasil menjalani praktek itu. Peserta pun memberi aplaus panjang kepada Will Angove. “Ternyata, seru sekali, ya. Saya begitu menikmati praktek tadi,” kata Mr. Angove, yang dulunya adalah seorang pembalap mobil di negerinya Australia.

Meski berlangsung lama, para peserta tidak merasa bosan. Karena selain sudah menikmati makan siang yang sangat lezat dengan menu salad, makanan yang serba daging, dan dessert yang segar, selama praktek langsung peserta bebas memilih makan bakso atau snacks serta minum jus maupun soft drink sepuas-puasnya. Selain itu, peserta juga disuguhi totonan mirip Police Academy di Ancol dan adegan film Fast & Furious oleh instruktur IDDS yang sudah berpengalaman. Yaitu kejar-kejaran antara polisi dan penjahat yang mempraktekkan teknik mengemudi U-turn, J-turn, dan drfiting. Cara mereka mengendalikan mobil benar-benar “sinting” dan mengundang decak kagum seluruh peserta.

Lebih dari itu, tentu saja, seluruh peserta ingin mendapatkan sertifikat yang sangat berarti sebagai tanda lulus mengikuti kegiatan DSFL yang menarik ini. Menurut Communication Manager FMI Cepi S. Husada, peserta DSFL angkatan kesembilan ini merupakan angkatan terbaik dari keseluruhan DSFL yang pernah diselenggarakan FMI. “Kami salut dengan antusiasme peserta DSFL – Batch 9 ini yang sangat aktif berdiskusi di kelas sehingga waktu belajar bertambah hampir satu jam dan semangat sekali waktu mengikuti praktek langsung,” tutur Cepi.

Hingga saat ini, sambung Cepi, tak kurang dari 1.500 orang sudah mendapatkan pelatihan DSFL. Kegiatan DSFL ini akan terus dilakukan oleh Ford Motor Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Supaya banyak masyarakat yang semakin mengerti akan pentingnya berkendara yang aman untuk kehidupan. Padahal, investasi per orang untuk kegiatan ini terbilang mahal. Untuk mengikuti program DSFL ini biaya satu orang peserta tak kurang dari Rp 2,5 juta. Dan semua itu ditanggung semua oleh Ford Motor Indonesia alias gratis. Peserta tak perlu membayar sepeser pun untuk mengikuti program DSFL ini.

Rencananya, jadwal DSFL berikutnya adalah bulan Oktober mendatang. Anda tertarik ikut DSFL – Batch 10? Buruan segera mendaftar karena tempat terbatas. Informasi bisa dilihat di www.ford.co.id atau bisa juga bergabung jadi anggota DSFL Indonesia di facebook.

AH
10 Agustus 2009

Jumat, 07 Agustus 2009

WS RENDRA

Waktunya sudah tiba
Semua dari kita akan kembali, tak terkecuali dirimu

Ruang hati kami puluhan tahun telah kau penuhi dengan hidupnya kata-kata yang bermakna
Engkau membuka cakrawala pandang yang begitu luas akan arti kehidupan
Negeri zamrud khatulistiwa nan indah ini telah kau bawa namanya melanglang buana
Detak jantungmu dan nafasmu hanya untuk Tanah Air
Rindumu dan cinta kasih sayangmu kau persembahkan melulu bagi Ibu Pertiwi
Alam bersedih, wahai Si Burung Merak, ketika kau terbang tinggi menembus langit nun jauh di sana dan kau tak akan pernah kembali lagi....


AH
7 Agustus 2009
3:15
(Puisi ini untuk mengenang W.S. Rendra yang membawa pergi cintanya untuk seseorang yang ia kasihi)