Selasa, 30 Desember 2008

CATATAN PIALA AFF 2008: Hanya Jalan Revolusi yang Dapat Menyelamatkan Sepakbola Indonesia

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1571/fokus/2008/12/22/1024044/catatan-piala-aff-2008-hanya-jalan-revolusi-yang-dapat-menyelama)

Tim nasional sepakbola Indonesia gagal total di Piala AFF 2008, karena target menjadi juara tak bisa dipenuhi.

Kejadian final di sebuah turnamen pemanasan di Yangon, Myanmar, terulang lagi pada semi-final kedua turnamen resmi Piala AFF 2008 di Bangkok, Thailand. Sebulan lalu, pada Jumat (21/11) sore kita gagal mengalahkan tuan rumah Myanmar di final. Dan pada Sabtu (20/12) malam lalu kita juga kembali gagal mengalahkan sang tuan rumah, Thailand, sehingga gagal ke final Piala AFF yang tahun ini disebut dengan AFF Suzuki Cup 2008. Indonesia kalah 1-2 di dua turnamen itu, meski tak seorangpun pemain kita yang berhasil menjaringkan bola ke gawang lawan. Gol untuk Indonesia dicetak oleh pemain tuan rumah yang melakukan gol bunuh diri ke gawangnya sendiri...!

Pada pertandingan itu timnas Indonesia, tampaknya, bermain bertahan dan sesekali mencoba melakukan serangan balik ketika unggul lebih dulu 1-0 melalui gol bunuh diri pemain belakang Thailand, Chonlatit Jantakam, di menit ke-9 babak pertama. Pelatih Benny Dollo berharap para pemainnya bisa menahan skor itu hingga akhir babak kedua. Sehingga akan ada perpanjangan waktu – lalu berharap keberuntungan pada saat terjadi adu penalti – sehingga Indonesia kemungkinan bisa lolos ke final AFF Suzuki Cup 2008.

Tapi Thailand adalah sebuah tim yang haus kemenangan dan para pemainnya lapar mencetak gol. Tim Negeri Gajah Putih itu pun lalu melancarkan berbagai serangan dari segala penjuru lapangan untuk mengejar ketertinggalan dan memenangkan pertandingan atas Tim Merah-Putih. Setelah ketinggalan satu gol, Thailand pun mengurung Indonesia sepanjang sisa pertandingan. Pada menit ke-73, Thailand berhasil menyamakan kedudukan melalui gol indah yang dicetak Teerathep Winothai setelah menerima umpan matang dari Teerasil Dangda yang gagal disapu-bersih oleh center back kita, Muhammad Roby. Meski hasil imbang di kandang sudah dapat meloloskan ke final, para pemain Thailand tetap bernafsu menjebol gawang Indonesia . Akhirnya, gol kemenangan itu pun tercipta di menit-menit akhir pertandingan melalui tendangan keras pemain pengganti, Roonachai Rangsiyo, di menit ke-89.

Kemenangan itu, bagi tim Thailand , bagus untuk menjaga mental dan moral pemain untuk merebut gelar juara yang lepas tiga tahun lalu. Kemenangan ini juga menunjukkan betapa inginnya para pemain Thailand memenangkan setiap pertandingan yang dijalani sepanjang turnamen Piala AFF. Hingga menjelang final Piala AFF, di bawah pelatih berkelas Liga Premier Inggris, Peter Reid, Thailand menjadi satu-satunya tim yang tak pernah kalah dan hanya kebobolan satu gol, satu-satunya gol itu pun merupakan gol bunuh diri pemainnya sendiri bukan dicetak pemain lawan, lebih tepatnya bukan dicetak pemain Indonesia.

Thailand tahu dan sadar betul hanya kemenanganlah yang dapat membawa mereka melaju ke partai puncak final Piala AFF untuk kelima kalinya. Piala AFF adalah sebuah turnamen, seperti halnya Piala AFC dan Piala Dunia FIFA. Tim hanya memerlukan kemenangan, kemenangan, dan kemenangan untuk menjadi juara. Tim yang kalah adalah tim yang gagal. Dalam sebuah turnamen, sebuah tim tak bisa disebut sebagai tim yang baik kalau ia tak bisa lolos ke final dan menjadi juara. Karena sebuah turnamen itu memainkan sistem pertandingan knock-out, siapa yang kalah dia harus keluar lapangan. Pendek kata, juara sebuah turnamen itu hanya untuk tim-tim terbaik.

Dalam sepakbola, di luar faktor ”dewi fortuna”, tim yang tampil bermain menyerang pantas mendapatkan kemenangan. Meski ”bola itu bundar”, kemenangan juga perpihak kepada tim yang bersungguh-sungguh bekerja di atas lapangan hijau. Karena teori ”bola itu bundar” hanya berlaku bagi tim-tim yang mempunyai level sama, tapi tidak berlaku bagi tim yang beda kelas. Teori ”everything is possible in football” juga cuma berlaku bagi tim yang punya kemampuan setara dengan lawannya.

Maka, pantas lah bila Thailand yang melaju ke final Piala AFF tahun ini dan bertemu Vietnam yang secara mengejutkan berhasil menjungkalkan juara bertahan Singapura dalam pertandingan bermutu yang enak ditonton itu. Thailand berusaha mencatat sejarah sebagai negara pertama yang meraih gelar juara keempat kali dari lima kali final yang dijalani sepanjang turnamen Piala AFF. Sebelumnya, Thailand sudah mencatat sejarah sebagai negara yang meraih juara untuk pertama kalinya pada turnamen tertinggi di Asia Tenggara yang bergulir sejak tahun 1996 ini. Selama tujuh kali turnamen digelar, Thailand hanya dua kali gagal ke final Piala AFF yaitu pada tahun 1998 dan 2004 saja.

Sebetulnya, dalam sejarah Piala AFF, prestasi Indonesia sebelumnya cukup membanggakan. Indonesia pernah berhasil lolos ke final tiga kali berturut-turut. Tapi semuanya gagal jadi juara dan hanya jadi runner-up. Pada final Piala AFF 2000, Indonesia dijegal Thailand, 4-1. Berikutnya, di final Piala AFF 2002, lagi-lagi Indonesia dikalahkan Thailand melalui adu penalti, 4-2, setelah aggregat 2-2. Dan pada Piala AFF 2004, Indonesia dikalahkan Singapura dengan skor aggregat 5-2. Di tiga turnamen itu para penyerang Indonesia juga berhasil menjadi pencetak gol terbanyak melalui Gendut Doni (5 gol, 2000), Bambang Pamungkas (8 gol, 2002), serta Ilham Jaya Kesuma (7 gol, 2004).

Artinya, sudah hampir lima tahun ini sepakbola Indonesia terpuruk di Asia Tenggara. Faktanya, kita tak pernah berhasil meraih satu kali pun juara Piala AFF yang sudah tujuh kali diselenggarakan. Kalau mau dihitung mundur, prestasi terbaik sepakbola Indonesia di Asia Tenggara itu tercatat pada 17 tahun lalu. Itu pun melalui pesta olahraga akbar multi-cabang ketika berhasil meraih medali emas SEA Games yang berlangsung di Manila, Filipina, pada tahun 1991. Prestasi terbaik di SEA Games itu pun sudah lama sekali. Dan di turnamen yang khusus untuk sepakbola seperti Piala AFF, Indonesia belum pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara.

Apakah kita masih akan terus ber-utopia bisa menjadi juara Piala Asia? Atau berkhayal bisa lolos ke Piala Dunia? Sementara untuk tingkat Asia Tenggara saja kita tak pernah bisa jadi juara.

Mari kita mencoba hidup dalam realitas yang sebenarnya. Realitasnya, sepakbola Indonesia, saat ini, betul-betul sedang terpuruk, meski belum masuk ke dasar jurang. Dan bila dibiarkan karena kita tidak peduli lagi, apakah kita mau sepakbola kita jatuh terkapar di dasar jurang?

Jutaan pendukung fanatik timnas Indonesia, termasuk saya, berkeyakinan bahwa sepakbola Indonesia masih bisa diselamatkan!

Hanya saja, untuk menyelematkan sepakbola nasional saat ini, satu-satunya jalan kita harus melakukan revolusi! Tidak ada pilihan lain. Revolusi sepakbola nasional saat ini merupakan satu-satunya keharusan yang harus kita tempuh untuk menyelamatkan dan membangkitkan sepakbola Indonesia. Dan, tentu saja, revolusi yang akan kita tempuh adalah revolusi yang damai, bukan revolusi melalui kekerasan.

Revolusi pertama adalah memberi kesempatan kepada para profesional yang memahami bahwa sepakbola adalah olahraga yang sangat disukai rakyat Indonesia dan dapat memberikan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Para pemilik suara, dalam hal ini pengurus daerah dan pengurus klub, yang menjadi perwakilan suara jutaan penggemar fanatik timnas Indonesia benar-benar bisa menentukan pilihan kepada pemimpin dan pengurus sepakbola kita yang profesional. Apakah kita mau melihat sepakbola Indonesia mundur di bawah kepengurusan seperti sekarang ini? Banyak yang bilang, mundurnya prestasi sepakbola Indonesia lantaran sepakbola kita dipimpin oleh orang-orang yang salah sehingga sepakbola kita berjalan amburadul dan kehilangan arah. Apakah sepakbola kita sudah kehilangan putera-putera terbaiknya untuk memimpin organisasi? Apakah sebagai sebuah bangsa kita tidak malu lantaran membangkang dari ketentuan baku yang sudah ditetapkan organisasi internasional tertinggi?

Revolusi kedua adalah mengembalikan liga utama kita kepada sistem kompetisi Galatama. Hanya klub-klub profesional saja yang layak berkompetisi. Saatnya kita mengelola kompetisi kita sebagai sebuah industri seperti yang terjadi di negara-negara yang sepakbolanya sudah maju. Klub-klub hidup melalui sponsor serta penjualan tiket dan merchandise klub, bukan mengandalkan dan menghambur-hamburkan dana miliaran rupiah dari APBD yang lebih pantas untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat banyak seperti subsidi di bidang pendidikan dan kesehatan. Liga utama kita cukup terdiri dari 18-20 klub saja, tanpa pembagian wilayah, dan harus ada sistem degradasi dan promosi dari kompetisi di bawahnya. Seperti diketahui, J-League, liga utamanya Jepang, dulu menjadikan Galatama sebagai salah satu rujukan utama sebelum mereka membuat liga utama. Dan hasilnya, pada Minggu (21/12) lalu kita melihat Gamba Osaka meraih posisi ketiga Piala Dunia Antarklub FIFA. Maka, kita wajib mempertanyakan apa arti kata ”super” dari Liga Super Indonesia yang kita lihat gagal menarik penonton datang ke stadion-stadion?

Revolusi ketiga adalah menegakkan hukum. Pengurus sepakbola kita harus tegas dan berani menerapkan hukuman kepada tim-tim, pengurus klub, dan wasit yang melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran berat. Sebagai rujukan, sebelum ditangani David Stern, kompetisi bolabasket paling bergengsi di dunia, NBA, dulu menjadi tempat para pemain beradu jotos, wasit yang memihak, dan pengaturan skor oleh bandar judi. David Stern yang ahli hukum lalu membenahi NBA dengan cara menegakkan aturan main yang sudah disepakati bersama. Sampai saat ini NBA tidak segan-segan memberikan hukuman bagi pemain, ofisial, pemilik klub, maupun wasit yang melanggar peraturan. Hasilnya, kompetisi NBA kini semakin mendunia, bahkan pernah membuka kompetisi di Jepang dan China.

Revolusi keempat adalah membubarkan kelompok supporter. Karena kelompok supporter sudah memecah belah kita sebagai sebuah bangsa. Padahal, oleh para pendiri negeri ini, sepakbola dulu dicita-citakan dan dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Hingga hari ini kita masih sering melihat ulah kelompok supporter yang sering mengamuk ketika timnya kalah. Apalagi secara sengaja sampai membakar stadion dan branding sponsorship. Ini tentu sangat merugikan para sponsor dan sepakbola kita sendiri. Karena ulah kelompok supporter yang lebih banyak negatifnya ini banyak orang-orang yang betul-betul cinta sepakbola enggan datang ke stadion. Kita bisa membedakan mana yang penonton sepakbola betulan dengan kelompok supporter pada saat timnas Indonesia bertanding. Kelompok supporter datang ke stadion dengan saltum, salah kostum, karena memakai kaos klubnya. Sementara pencinta bola sejati datang dengan kostum kebanggaan Merah-Putih. Kelompok supporter marah bila timnas kalah dengan cara melempar botol berisi air seni dari atas tribun, sementara penonton sepakbola betulan tetap berdiri memberi applaus.

Revolusi kelima adalah memperhatikan lebih serius pembinaan sepakbola usia dini, terutama untuk U-13, U-15, dan U-17. Kita harus memutar kompetisi usia dini secara berjenjang dan berkesinambungan. Karena di tiga tingkatan itulah kita mulai mendapatkan pemain-pemain berbakat yang bisa dijadikan bibit-bibit pemain di masa depan. Pemain-pemain tersebut tak perlu kita latih di luar negeri. Tapi dengan memberikan program yang terarah dan terukur dalam sebuah pemusatan latihan di Tanah Air.

Revolusi keenam adalah menggunakan jasa pelatih asing untuk menangani timnas kita. Kita masih melihat perlunya pelatih asing sebagai sesuatu yang sangat kita butuhkan untuk menangani para pemain kita yang suka bertindak aneh-aneh dan malas berlatih keras. Kita masih membutuhkan pelatih asing untuk menumbuhkan fighting spirit dalam permainan sepakbola. Kita perlu pelatih asing untuk meningkatkan kreativitas pemain-pemain kita, terutama saat membongkar pertahanan lawan dan mencetak gol. Kita perlu pelatih asing yang jujur dalam menilai kekuatan sendiri dan tim lawan. Kita perlu pelatih asing untuk kontrak jangka panjang dan kita harus sabar dengan program pelatihan yang disusunnya dan terbebas dari campur tangan pengurus.

Persoalannya, mungkinkah revolusi itu terjadi di bawah kepengurusan sekarang yang selalu membangkang ketentuan yang sudah diberikan FIFA sebagai regulator sepakbola dunia? Kalau tidak mungkin, apa yang akan kita lakukan sebagai pendukung fanatik timnas Indonesia yang sangat peduli dengan raihan prestasi tinggi untuk kebanggaan sebagai bangsa dan kejayaan sepakbola kita? Ayo, berbuatlah sesuatu! (*)

(AH, 22 Desember 2008)

Tidak ada komentar: