Selasa, 23 Desember 2008

CATATAN PIALA AFF 2008: Kita Mulai Terbiasa dengan Kekalahan

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1390/pssi/2008/12/18/1017609/catatan-piala-aff-2008-kita-mulai-terbiasa-dengan-kekalahan)


Setelah kalah dari Singapura di babak penyisihan untuk menentukan juara grup, kali ini sebagai tuan rumah tim nasional sepakbola Indonesia lagi-lagi kalah dari Thailand di semi-final pertama AFF Suzuki Cup 2008.


”Kenapa, ya, kita mulai terbiasa menerima kekalahan?”

Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan menyentil ini dilontarkan seorang penonton dari tempat duduknya di VVIP Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat. Selasa (16/12) petang itu ia datang bersama lima temannya menjadi bagian dari 72.000 lebih supporter fanatik yang mendukung tim nasional Indonesia saat bertemu tim kuat Thailand di semi-final pertama AFF Suzuki Cup 2008.

Ia, juga para pendukung timnas yang selalu setia hadir ke Stadion Utama dan jutaan penonton televisi di rumah, berharap Indonesia menang di setiap pertandingan yang dijalani. Ternyata, bukan kemenangan yang didapat Indonesia. Tapi sebaliknya, lagi-lagi kekalahan yang menyesakkan!

Ia, juga para pendukung timnas yang selalu setia hadir ke Stadion Utama dan jutaan pendukung lainnya di seluruh Tanah Air, mengaku tidak akan pernah kapok mendukung timnas. Meski Indonesia kalah lagi, kalah lagi.

Sulit rasanya meraih kemenangan di tengah manajemen persepakbolaan kita yang hancur-lebur, carut-marut, dan absurd lantaran krisis kepemimpinan, keteladanan, dan moralitas. Sukar tampaknya ketika timnas Indonesia ditangani pelatih yang tak punya pola permainan dan miskin kreativitas, selain para pemain yang hanya bernafsu membawa bola berkeliling lapangan hijau tanpa tahu ke mana bola itu harus dialirkan secara akurat, cepat, dan para penyerang bisa mencetak gol ke gawang lawan di tengah penjagaan ketat lawan. Susah rasanya berharap pada pemain yang tidak merasa bangga berkostum Merah-Putih dan bermain tanpa nyali dan semangat tinggi, selain cuma berlari-lari ke sana ke mari.

Para pendukung fanatik timnas Indonesia, kini, mulai terbiasa dengan menerima kekalahan.

Seperti permainan Singapura saat perebutan juara grup, sejujurnya, di semi-final pertama Thailand juga bermain bertahan setelah berhasil mencuri satu gol di menit-menit awal pertandingan oleh striker bernomor punggung 10, Teerasil Dangda, di menit ketujuh babak pertama. Timnas Negeri Gajah Putih sengaja membiarkan para pemain kita bermain cepat seolah-olah timnas Merah-Putih bermain menyerang. Toh, pertahanan Thailand sulit ditembus. Lantaran duet penyerang kita, Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas, tak berkutik ditempel secara ketat oleh kuartet Suree Sukha, Chonlatit Jantakam, Nataporn Phanrit, dan Kapten Tim Thailand Datsakorn Tonglao.

Saking rapat dan ketatnya para pemain Thailand menempel, untuk melepaskan diri dan mencari bola, Budi bahkan beberapa kali sempat naik sampai ke tengah lapangan. Sementara BP jarang sekali mendapat bola karena dicegat lebih dulu para pemain belakang Thailand. Ini lah penampilan terburuk striker utama Indonesia itu di ajang AFF Suzuki Cup 2008. Bisa jadi ini akan menjadi penampilan terakhir BP di timnas, karena sebetulnya dia memang sudah tidak layak diberi tempat di timnas Indonesia. Meski perutnya belum begitu tambun seperti sang pelatih, reaksi BP sudah lamban dan ia sudah tak bisa melepaskan diri dari penjagaan pemain Thailand.

Bermain bertahan hampir dengan seluruh pemain di kotak penalti, Thailand sangat cepat ketika mendapatkan peluang menyerang balik. ”Seharusnya kami mencetak lebih banyak gol, tapi penjaga gawang Indonesia bermain baik,” kata Pelatih Thailand yang sudah malang melintang di Liga Premier Inggris, Peter Reid, memuji penampilan Markus Harison. Harus diakui, Markus tampil bagus di bawah mistar Indonesia. Ia menyelamatkan setidaknya tiga peluang Thailand yang mestinya menjadi gol. Markus tidak membuat kesalahan sama sekali. Satu-satunya gol Thailand yang bersarang ke jala gawang Indonesia bukan kesalahannya, tapi itu memang lantaran bangunan serangan yang dieksekusi secara jeli oleh Teerasil Dangda karena ia tak terkawal Kapten Timnas Charis Yulianto dan Nova Arianto.

Markus tidak salah, meski di akhir pertandingan ia terduduk lesu, badan lunglai, dan hati kecilnya menangis karena merasa bersalah atas gol yang terjadi saat Wasit Vo Minh Tri asal Vietnam membunyikan peluit panjang tanda pertandingan berakhir untuk kekalahan Indonesia.

Yang salah adalah Pelatih Benny Dollo. Bayangkan, sebelum turnamen bergulir ia berani sesumbar menargetkan gelar juara Piala AFF tahun ini untuk Indonesia padahal sebetulnya persiapan timnas ia akui sendiri tidak maksimal. “Waktu saya cuma sebentar untuk membentuk timnas ke Piala AFF,” jawab Bendol, panggilan akrab pelatih bertubuh tambun itu, seenaknya dan sekenanya saja. Lah kenapa ia yakin menjadi juara sementara ia sendiri merasa waktu persiapan sangat kurang. Lho memangnya dia tidak tahu kalau turnamen Piala AFF itu berlangsung dari 5 – 28 Desember dengan sistem knock-out, hanya tim pemenang yang berhak melaju ke final. Dengan kata lain, tak ada tempat di final bagi tim yang kalah seperti Indonesia!

Kita bisa menyimpulkan, apa yang dilakukan Bendol tak lebih dari omong besar yang tak didukung fakta yang dia miliki sendiri. Bagaimana bisa mengetahui kekuatan dua tim pemegang gelar Piala AFF, Thailand dan Singapura, yang bergantian menjadi juara selama 12 tahun ini jika ia masih mempermasalahkan kurangnya waktu bagi terbentuknya timnas yang ideal. Bendol hanya berkoar-koar seolah Indonesia adalah tim juara padahal kenyataannya tahu sendiri kan...!

Gelar juara Piala AFF, di atas kertas, tak mungkin diraih Indonesia. Memang, bola itu bundar. Tapi kelas kita saat ini setingkat di bawah Thailand, juga Singapura. Maka, Thailand pasti akan mengambil kemenangan di semi-final kedua yang akan dimainkan saat bertindak sebagai tuan rumah dengan dukungan puluhan ribu supporter fanatiknya. Mereka ingin mencetak rekor sebagai tim yang selalu menang dan tidak pernah kebobolan satu gol pun sepanjang turnamen, selain mencatat sejarah sebagai tim Asia Tenggara pertama yang berhasil menjuarai Piala AFF sebanyak empat kali! Tentu, ini juga menjadi ambisi pribadi Peter Reid untuk merebut gelar juara dari genggaman seteru abadi Singapura.

Kembali ke Bendol yang hanya umbar janji meraih Piala AFF, maukah ia mundur setelah gagal dan mengecewakan puluhan ribu supporter fanatik yang selalu setia memberi dukungan ke Stadion Utama Senayan dan jutaan lainnya yang selalu berharap di rumah? ”Saya merasa sudah berbuat yang terbaik buat timnas. Soal mundur urusan pengurus...,” papar Bendol yang datang terlambat saat jumpa wartawan usai pertandingan. Jawaban Bendol, tentu saja, mencontoh persis pengurus sepakbola kita yang tak mau mundur jika gagal.

Gagal di tingkat Asia Tenggara, Bendol tak mau mundur karena ia mungkin masih berencana membawa timnas Indonesia menjadi juara di level yang lebih tinggi, Asia, bahkan dunia. Eh, siapa tahu, Bendol berhasil. Selain bola itu bundar, kata Bendol, ”Everything is possible in football...!”

Penonton di VVIP tadi, juga 72.000 pendukung fanatik timnas Indonesia yang selalu datang ke Stadion Utama Senayan dan jutaan lainnya yang menonton televisi, sudah tidak peduli lagi dengan jawaban Bendol.

Ia, dan kita semua, sebaiknya mulai saat ini juga sudah harus terbiasa menerima kenyataan timnas Indonesia adalah sebuah tim yang selalu kalah dan gagal dalam sebuah turnamen resmi internasional. Timnas yang selalu kalah dan gagal ketika kita semua berharap untuk menang....

Maka, jangan lah lagi kita berharap timnas Indonesia bisa menang dan juara di Asia Tenggara. Sebaliknya, mari kita biasakan diri menerima kekalahan. Dengan bersikap menerima kekalahan seperti ini, seperti kata seorang psikolog, bisa membuat hidup kita wajar, terhindar dari stress, dan dijamin tak sampai harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Sepakbola kita, tanda-tandanya sudah mulai terlihat lima tahun belakangan ini, boleh saja nantinya betulan sakit jiwa. Yang penting, dengan bersikap terbiasa menerima kekalahan, kita pendukung setia timnas Indonesia tetap sehat wal afiat dan masih bisa berpikir waras.

Mudah ditebak, di masa datang, sepakbola hanya akan menjadi olahraga berlari-lari dengan bola saja, karena akal sehat, kreativitas, serta semangat yang menyertainya sudah mati di atas lapangan hijau sepakbola Indonesia. Dan pada saatnya nanti pun sepakbola Indonesia cuma untuk olahraga iseng-iseng mencari keringat, bukan olahraga yang membanggakan rakyat...!

(AH, 17 Desember 2008)

Tidak ada komentar: