Rabu, 17 Desember 2008

CATATAN PIALA AFF 2008: Kalah Kelas, Timnas Gagal Memberikan Kegembiraan

(Tulisan ini sudah dimuat di GOAL.com, http://www.goal.com/id-id/news/1387/nasional/2008/12/10/1005184/catatan-piala-aff-2008-kalah-kelas-timnas-gagal-memberikan-kegem)


Secara obyektif kita harus mengakui timnas sepakbola Indonesia saat ini bukan lagi yang terbaik di ASEAN.


Keinginan Pelatih Tim Nasional Indonesia Benny Dollo dan Kapten Tim Charis Yulianto yang ingin memberikan kemenangan di pertandingan terakhir babak penyisihan Grup A turnamen AFF Suzuki Cup 2008 hanyalah sebuah retorika belaka. Tak belih daripada psy-war menjelang pertandingan. Hanya sebuah perang urat syaraf, perang kata-kata kepada tim lawan menjelang pertandingan.

Ketika menghadapi pertandingan yang sesungguhnya, ternyata, hanya sebuah utopia. Mengharapkan yang tak mungkin sama sekali. Kemenangan yang diinginkan Pelatih Bendol dan Kapten Charis sebagai sebuah harga mati cuma khayalan semata.

Di atas lapangan timnas Indonesia tak membuktikannya dengan tindakan nyata. Pelatih Bendol menerapkan permainan tanpa taktik dan strategi yang jitu. Sementara Charis cs bermain seadannya. Dibanding dua pertandingan sebelumnya saat melawan Myanmar dan Kamboja, ini merupakan pertandingan terburuk Indonesia sepanjang babak penyisihan AFF Suzuki Cup 2008. Indonesia bermain menyerang tanpa bentuk, variasi, dan kreativitas.

Padahal, Singapura memilih bermain defensif dan mengandalkan serangan balik. Parahnya lagi, gol-gol kemenangan Singapura dihasilkan melalui bola-bola mati di awal-awal babak pertama dan babak kedua, tepatnya di menit ke-2 dan ke-50.

Pada pertandingan penting untuk menentukan juara grup, Pelatih Bendol masih mempercayakan the winning team di dua pertandingan sebelumnya saat menang 3-0 atas Myanmar dan 4-0 atas Kamboja. Banyak pihak yang menyayangkan Pelatih Bendol tidak menurunkan pemain-pemain yang punya gairah, punya nyali dan semangat tinggi, seperti Syamsul Bachri dan Aliyudin, sebagai pemain inti. Baik Syamsul dan Aliyudin keduanya merupakan pemain yang rajin menjelajah lapangan dan membuka ruang peluang saat menyerang. Mereka juga pemain-pemain yang mampu membakar semangat tim.

Ketika ditanya kenapa Pelatih Bendol tidak melakukan rotasi pemain, ia memberi jawaban yang sangat sumir. ”Kalau saya merotasi pemain dan ternyata kalah, nanti saya diserang juga,” kata Pelatih Bendol dengan nada tinggi saat konferensi pers usai pertandingan. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak bertanggungjawab dari seorang pelatih yang sudah kehilangan akal sehatnya.

Iming-iming BTN memberikan bonus Rp 1 miliar sama sekali tidak menggugah rasa para pemain untuk menjadi yang terbaik di ASEAN. Mungkin, karena itu pula BTN berani memberikan bonus setara peraih medali emas Olimpiade. BTN, mungkin, tahu sulit memacu semangat pemain. Satu-satunya yang memungkinkan adalah memberi uang segudang. Terlebih lagi banyak pemain yang mata duitan. Tapi tetap saja pancingan itu sama sekali tak berarti apa-apa untuk memompa semangat pemain meraih kemenangan.

Singapura, memang, tim berkelas. Di luar naturalisasi tujuh pemain asing yang memperkuat timnas Negeri Singa itu, mereka bermain sangat rapi dan disiplin. Ketika tim Indonesia menyerang dan mendapatkan bola mati dari tendangan bebas atau tendangan sudut, 8 pemain bersiaga membentengi gawan Lionel Lewis. Hanya menyisakan Kapten Tim Indra Sahdan sebagai jangkar penghubung dengan penyerang Agu Casmir yang stand-by di baris terdepan yang siap menerima bola. Pelatih Radojko Avramovic tahu bagaimana caranya menaklukkan Indonesia. Seperti di dua pertandingan sebelumnya, Singapura mencuri gol kemenangan di menit-menit awal. Sehingga tim lawan merasa terbebani. Apalagi timnas Indonesia yang didukung para penonton fanatiknya.

Kita kembali gagal memenangi pertandingan melawan Singapura di ajang sepakbola tertinggi di ASEAN ini. Kita juga malu karena tak bisa mencetak satu pun gol ke gawang negeri jiran itu. Myanmar saja mampu memberi perlawanan dengan mencetak satu gol ke gawang Singapura. Kalau melihat fakta ini, kita tidak lebih baik dibanding Myanmar.

Dengan kata lain, kelas kita sudah lebih rendah satu tingkat dibanding Singapura. Kita kini hanya menjadi tim medioker yang hanya bisa menang melawan tim lemah seperti Myanmar dan Kamboja. Kita masih kesulitan menghadapi tim yang bersemangat tinggi seperti Vietnam. Dan merasa senang kalau bisa main draw dengan Malaysia. Melawan Thailand? Jangan harap bisa menang. Kelas Thailand sama seperti Singapura.

Pantas kalau hanya Thailand dan Singapura saja yang mampu merajai turnamen yang digelar sejak tahun 1996 ini. Keduanya, memang, lebih pantas tampil di final ketujuh Piala AFF ini. Thailand atau Singapura akan menentukan diri siapa yang berhasil memecahkan rekor menjuarai turnamen ini sebanyak empat kali. Apapun hasilnya, Thailand dan Singapura memang dua tim yang terbaik di ASEAN saat ini!

Kapan Indonesia bisa berbicara lagi di ASEAN, setelah 17 tahun lalu meraih medali emas SEA Games?

Hari ini timnas kita lagi-lagi gagal memberikan kegembiraan pada pendukung fanatiknya. Padahal kemenangan inilah satu-satunya hiburan yang menyenangkan hati sepanjang tahun ini karena timnas kita di bawah kendali Pelatih Bendol paceklik prestasi internasional.

Untuk membangun timnas yang tangguh dan punya karakter, saya berpendapat, pertama-tama kita harus mencari pelatih asing minimal sekelas Peter Withe atau Ivan Kolev. Kalau bisa, tentunya berkaitan dengan budget yang dimiliki, kita dapat pelatih asing yang kualifikasinya melebihi dua pelatih asing di timnas terdahulu.

Buat pelatih Bendol cukup sampai di sini saja. Biarlah ia ”dibandrol” ke klub-klub yang berminat mengontraknya untuk kompetisi lokal.

(AH, 9 Desember 2008)

Tidak ada komentar: