Rabu, 31 Desember 2008

Jakarta di Ujung Tahun

Ibukota Jakarta masih akan seperti hutan rimba, siapa yang kuat dia yang menang.

Ini hari terakhir di tahun 2008.

Jakarta, secara keseluruhan, tampak lengang.

Toh, di beberapa ruas jalan tetap saja ada sedikit kemacetan. Berbeda dengan pagi yang lain, tumben-tumbenan di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, pada Rabu tadi lalu lintas padat merayap. Beberapa sedan dan Kopaja terpaksa putar haluan, mencari jalan tikus. Usut punya usut, ternyata, penyebabnya adalah akan ada keputusan pengadilan tentang siapa dalang kematian aktivis kemanusiaan Munir. Aparat bersiaga penuh dekat sebuah pengadilan yang terletak tak jauh dari pertigaan lampu merah dan tetanggaan persis dengan sebuah salon totok wajah buat memancarkan aura daya tarik. Sementara barisan motor, yang belakangan ini menjadi raja jalanan dan sering bertingkah aneh-aneh, tetap melaju di jalan itu.

Tak lama, di tengah hari yang lumayan panas, hakim di pengadilan itu memutuskan dengan mengetuk palu. Terdakwa dinyatakan bebas. Bukan dia dalang pembunuh Munir, karena tak ada bukti yang memberatkan. Suciwati, istri sang aktivis, sangat kecewa. Bukan saja ia kehilangan separuh belahan jiwa. Ia juga merasa tak mendapatkan rasa keadilan di negaranya.

Kematian Munir, rupanya, tak berarti apa-apa. Bahwa ia mati dibunuh, tapi pengadilan tak bisa mengungkap siapa dalang utamanya. Ada pembunuhan, tapi tak ada pembunuhnya. Dalam pembunuhan itu yang ada hanya ada seorang yang mati. Yang mati itu bernama Munir. Yang mati itu dikenal sebagai aktivis kemanusiaan yang sering kali dianggap merepotkan karena berkaitan dengan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Menurut laporan, Munir mati karena diracun. Adakah orang yang berpikiran sehat mau minum atau makan racun?

Munir tidak sendiri. Di Jakarta banyak orang yang mati tapi tak diketahui siapa pembunuhnya. Sebelumnya, menjelang reformasi, ada beberapa aktivis mahasiswa mati tertembus peluru di dekat Universitas Trisakti dan Jembatan Semanggi. Seperti Munir, pembunuh mereka sampai saat ini tak pernah diketahui.

Ibukota ini seperti hutan rimba. Siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, dia merajalela. Yang kuat boleh membunuh. Yang berkuasa boleh mematikan orang lain. Tanpa pernah bisa tersentuh tangan hukum.

Ibukota ini tak pernah mau berubah. Dari tahun ke tahun. Dari tahun yang lama ke tahun yang baru. Tak akan pernah ada yang baru di tahun baru. Tahun baru tak pernah berarti apa-apa.

Tahun 2009 akan ramai. Karena menjelang pemilihan presiden. Semua orang mau menjadi presiden. Wajah kota menjadi kotor dan kumuh dipenuhi spanduk, umbul-umbul, baliho berisi wajah-wajah yang tidak kita kenal tapi mengumbar janji-janji surga. Sejak reformasi, bisnis pemilihan-pemilihan model begini sangat marak dan bikin muak. Rasanya, setiap waktu kita dihabiskan buat memilih pemimpin. Sementara mereka yang terpilih lupa akan janji-janji surga, justru membuat neraka-neraka dunia.

Sudah lebih dari setahun Bang Kumis tidak membuat perubahan yang berarti yang mengubah denyut nadi Jakarta. Bahkan mulai tahun ini membuat ide gila mewajibkan anak-anak sekolah mulai jam 6.30 pagi. Katanya buat mengurangi kemacetan. Tampaknya, ia sudah frustasi lantaran tak bisa mengerem laju pertumbuhan kendaraan sebagai biang kerok kemacetan di Jakarta. Karena Bang Kumis punya kuasa, maka ia perintahkan para pelajar yang tak berdaya buat berangkat sekolah sehabis sholat Subuh. Mereka berangkat masih dalam keadaan terkantuk-kantuk. Bisa dibayangkan kalau pada jam pertama mereka ada ulangan sementara semalam ngebut belajar.

Bang Kumis menjadi contoh. Bahwa orang hanya bernafsu ingin menjadi. Ketika hasrat itu terpenuhi maka yang terjadi adalah pejabat jadi-jadian. Ingin menjadi pejabat, jadinya pejabat jadi-jadian. Tanpa visi, tanpa misi. Sebagian warga Jakarta yang sinis memanjangkan nama Bang Kumis menjadi bangga menjadi kumuh dan miskin.

Jakarta juga mencatat kematian prestasi sepakbola Indonesia. Tim nasional sepakbola kita sudah satu level di bawah Thailand, Singapura, dan Vietnam. Kita tak pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, tapi berani mengkhayal setinggi langit Asia dan dunia. Sepakbola kita masih berisi kerusuhan supporter, perkelahian di atas lapangan hijau, dan kerugian miliaran rupiah yang ditanggung perusahaan yang menjadi sponsor. Pengurus sepakbola kita masih bolak-balik dengan urusan wajib lapor bebas bersyarat, cek kosong, dan jadwal kompetisi yang bisa berubah seenak jidat.

Ini hari terakhir di tahun 2008.

Jakarta, menjelang masuk tahun baru 2009, terbilang lengang.

Dan Jakarta pun tak pernah mau berubah. Tak pernah mengerti apa itu kata baru.

Jakarta masih akan tetap seperti hutan rimba.

(AH, 31 Desember 2008)

Tidak ada komentar: