Kamis, 04 Desember 2008

OKB Versus OKaBa

Hidup di Jakarta kita bisa melihat beragam perilaku warganya yang majemuk lantaran penduduknya berasal dari mana-mana. Macam-macam tingkah. Beragam polah. Kadang lucu. Kadang bikin terharu. Mirip isi dan rasa makanan khasnya, gado-gado, yang bisa dicampuri nasi atau lontong.

Sebagai sebuah kampung besar yang lagi tumbuh pesat, banyak warga Jakarta yang taraf hidupnya juga meningkat. Mereka kini bisa makan enak di mana-mana tempat. Atau melihat kemiskinan dari balik kaca mobil sedan mewah ber-AC sangat dingin. Mereka berada di sebuah tempat yang terbilang nyaman.

Sebagian dari warga Ibukota yang baru naik kelas ini perilakunya suka pamer, snob, dan gayanya seperti yang punya Jakarta. Lagaknya sudah kayak orang yang paling pintar dan paling benar. Apa maunya, apa katanya.

Warga Jakarta yang modelnya seperti itu sering disebut sebagai OKB. Alias Orang Kaya Baru. Yah, namanya juga baru, maka OKB senang memperlihatkan apa yang dia punya. Rumah boleh tanpa garasi. Tapi mobil bisa dua sampai tiga biji. Alhasil, jalanan jadi tempat parkir.

OKB-OKB ini sudah tidak mau lagi berpikir dan memakai akal sehatnya. Apalagi mempertimbangkan budi luhurnya. Mereka sangat reaktif terhadap sesuatu hal yang terjadi. Untuk menghindari orang jahat masuk ke kompleks perumahannya, pasang portal. Selain warga kompleks, orang lain gak boleh lewat. Lantaran anaknya kesenggol motor, langsung teriak minta Pak RW bikin polisi tidur. Pokoknya, hidupnya gak mau susah. Sebaliknya, malah seneng bikin orang lain susah dan suka bikin sesuatu yang sebetulnya sama sekali tidak perlu – apalagi penting. Orang-orang ini sudah kehilangan hati. Sulit meminta mereka untuk berempati, apalagi mengharapkan simpati.

Pada tahap tertentu OKB-OKB ini gayanya kayak jagoan. Maunya main menang-menangan. Gak bisa diajak ngomong baik-baik dengan akal sehat, karena pikiran mereka gak nyampe buat berargumentasi. Jadi, yang ada cuma debat kusir. Ujung-ujungnya, pokoknya, bagi orang yang gak setuju diminta minggir.

Karena baru kaya, maka duitnya juga tanggung. Para OKB ini, sejatinya, sehari-harinya hidup rada-rada pelit karena harus banyak irit supaya bisa tetap terlihat kayak orang kaya. Sifat lain OKB yang juga menonjol adalah suka ngintip apa isi rumah tetangga kiri kanannya dan bawaannya sirik melulu.

Selain ada OKB, belakangan di Jakarta juga banyak tumbuh OKaBa. Ini istilah untuk menyebut Orang Kaya Baik.

OKaBa ini aslinya, memang, sudah kaya duit dan harta dari dulu. Meski high profit, mereka justru terlihat low-profile. Tidak memperlihatkan diri sebagai orang kaya. Sehari-hari justru tampil sederhana. Bahkan ada yang sangat biasa sekali. Tak menyangka kalau dia orang kaya betulan.

Saya pernah dengar cerita, seorang pemilik galeri perabotan rumah mewah yang showroom-nya terletak di Jalan Sudirman, diapit Hotel Sahid dan Mid Plaza, membiarkan sudut rumahnya yang mewah di perumahan elite jadi pangkalan ojek. Saya juga diberitahu kalau ada OKaBa yang biasa keluar masuk Istana Negara, setiap hari membagi-bagikan ratusan nasi bungkus kepada kaum miskin di pinggiran Jakarta.

Ada juga seorang OKaBa yang membiarkan dua kaca spion Toyota Alphard terbaru-nya yang harganya di atas Rp 1.000.000.000 itu ”dipotek” tangan-tangan iseng anak-anak jalanan ketika terjebak di kemacetan yang padat. ”Mau apalagi, mereka orang-orang yang lapar tapi tidak punya apa-apa. Sementara saya masih bisa membeli lagi atau pakai jaminan asuransi,” katanya, tanpa merasa perlu harus melapor ke kantor polisi terdekat.

Minggu lalu, saya menyaksikan sendiri, seorang OKaBa pemilik brand perhiasan terkenal menyerahkan uang arisannya yang berjumlah ratusan juta rupiah untuk sebuah yayasan pada sebuah acara reuni. Bayangkan, uang arisannya saja ratusan juta. Para OKB itu pasti langsung jatuh pingsan kalau tahu berapa banyak uang yang dimiliki OKaBa.

Jadi, kalau OKB uangnya tanggung, OKaBa uangnya sedalam lautan dan setinggi segunung. OKB masih mencari-cari (uang). Sementara OKaBa sudah bisa membagi-bagi (uang).

Untuk urusan duit-duitan di Jakarta, rupanya, juga berlaku pepatah “di atas langit ada langit”. Duit OKB baru di langit pertama. Sedangkan duit OKaBa sudah berada di langit ketujuh. Perbedaannya sungguh jauh. Jelas terlihat, OKB gak ada apa-apanya dibanding OKaBa.

Jadi, buat para OKB, ngapain juga sombong?!

Wahai OKB, bercerminlah pada OKaBa yang kaya raya tapi hatinya sangat mulia.

OKB dan OKaBa, dua-duanya, ada di Jakarta. Saban hari OKB dan OKaBa mempunyai andil besar memacetkan ruas jalan-jalan di Ibukota yang banyak bolong-bolong dan terdapat galian di mana-mana. Setiap hari kiprah OKB dan OKaBa mewarnai gerak kehidupan kota yang dulunya merupakan sebuah kampung seluas 740,28 km2 yang umurnya sudah 481 tahun dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang ini....

(AH, 4 Desember 2008)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kehidupan manusia memang beragam, tingkat sosial memang berbeda-beda, sifat & kepribadian manusia apalagi.

Tapi semua perbedaan itu hanya bisa disatukan & diminimalisir dengan budaya gotong royong dan akhlak.

Mungkin itu jawaban yang mudah tapi sulit dilakukan.

Tapi harus dicoba... There is a will there are a way

Thank you

Regards
RGS

Jakartasiana mengatakan...

RGS yang baik,

Terima kasih sudah datang ke jakartasiana dan memberikan pendapat.

Kegotong-royongan, dan juga akal sehat, itulah yang kini memprihatinkan di Jakarta. Orang-orang sudah sangat reaktif terhadap satu hal. Maunya solusi yang serba dadakan, yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kalau ingat "There is a will there is a way, saya ingat Rizal Mallarangeng yang urung maju jadi calon presiden.

Anda tidak mau lewat jalur independen seperti Sri Sultan?

Sukses selalu, ya!

Salam,
AH